Wednesday, October 28, 2015

Bass Bukan Baso yang Bisa Menjeletot


Ini adalah suatu kutika aku bebenah pavilyun di malam hari. Pavilyun pada waktu itu terasa lapang sekali, dan aku masih lebih muda dari ini. Ditambah ayunan orkestrasi Billy Vaughn yang mendayu-dayu memainkan Time Was, aku seperti jauh lebih muda lagi. Bisa jadi aku seorang komunis yang pandai memainkan saksofon, atau saksofonis yang pandai menjelaskan apa itu komunisme—tidak banyak bedanya. Ini bisa juga siang hari di atas ubin kuning kuno yang sejuk, dengan sedikit debu.


Kiniku adalah mug suvenir Dies Natalis ke-91 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang berarti juga Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, yang bertemakan “Refleksi Sejarah untuk Hukum Indonesia yang Berkeadilan.” [Asaptaga siapa pula yang terpikir tema seperti ini?] Tetap saja, di sebaliknya adalah lambang Universitas Indonesia dengan veritas probitasnya yang terkutuk! Aku dapat minum kopi jahe dengannya tanpa merasa bersalah, tanpa merasa seperti pencuri, karena aku sudah tanda-tangan—meski aku juga menyanding setengah liter air panas dalam gelas plastik Teh Poci, milikku sendiri.

Itulah sebabnya aku lebih suka menjadi seekor burung layang-layang ketimbang elang rajawali, terutama sejak ia dijadikan lambang Metrotivi—aduhai alangkah bodoh tampaknya, meski Bang One juga tidak lebih keren. Aku seekor burung layang-layang mungil. Leherku hanya selingkaran cincin kawin. Aku tidak peduli orang ramai berkarnaval seantero Brazil di bawahku, meski zabumba berdentam-dentam dan pinggul-pinggul telanjang berayun bergoyang-goyang. Aku hanya tahu, sebelum matahari terbenam aku harus sudah di sarangku. Biar terayun terkantuk-kantuk kepala mungilku sedangkan Bintang Kecil tersenyum padaku di kejauhan.

Air panas telah kutuang ke dalam mug. Kutaksir volumenya sekitar 400 ml. Adapun tujuannya adalah untuk membasuh bekas-bekas kopi jahe, tidak saja dalam mug tetapi juga di sekujur saluran cernaku. Inilah yang menyadarkanku betapa aku bukan seekor burung layang-layang mungil. Aku bapak-bapak gendut yang sakit-sakitan. Aku bahkan bukan perwira angkatan laut negara manapun yang melantai bersama perempuan Yahudi yang aduhai sungguh menawan. Aku bahkan tidak pantas menjadi apapun, sedangkan Istriku saja menolak menyebutku cerpenis apalagi sastrawan.

Terkadang ingin sekali aku bertanya pada Opa Ibrahim Ferrer, mengapa ia murtad—meski ia tidak mungkin lebih murtad dari Rahim Sterling. Mengapa engkau malah memeluk Santeria, Opa? Apa kau takut voodoo? Apa kau takut sihir-sihir hitam dari tanah asalmu, yang diilhami oleh jin-jin kafir itu? Hanya yang kutahu, Opa, tidak mungkin kuhidup berpisah dari Si Penjaja Kacang Tanah. Bersamanya aku merasa selalu berada di Alam Musim Panas, di mana kami selalu memadu kasih, di mana tiada kekuatiran, tiada harapan. Hidup hanya untuk saat itu, dan selalu saat itu setiap waktu.

Tidakkah memang sudah begitu hidupmu, tukas Opa Ibrahim. Tidakkah Berlayar di Sepanjang Bulan Keperakan bagimu hanya dapat dilakukan sambil memancangkan pantat di kursi sedangkan jarimu mengetuk-ngetuk papan kunci? Tidakkah sudah lama sekali bahkan kau tidak membaca lagi? Aloha Oe, mengapa memberondongku dengan pertanyaan begitu, Opa? [Mengapa pula ini Opa Billy dengan ensembel saksofon yang meletot-meletot begini?] Kalian Opa-opa seperti memojokkanku! "...karena kami sudah mencapai apa yang harus kami capai, yaitu mencekam benakmu!"

Jika sudah begini, aku tidak tahu lagi apakah lebih baik cengeng seperti Fawaz ketika masih berusia sembilan tahun, atau memendam melankoli sementara muka selalu dipasang sok eager bahkan setelah setua ini? Kupalingkan wajahku hanya untuk tertumbuk pada Opa Bram Titaley yang sedang mengharu-biru Hawaii. Senyumnya seakan mengejekku yang baru-baru ini saja menyadari bahwa paloma itu merpati sedangkan matahari itu sol. Opa-opa hebat ini, akankah aku menjadi seperti mereka? Akankah aku kelak menyaksikan betapa aku mencekam benak lelaki culun umur empat puluhan?

No comments: