Sunday, October 04, 2015

Aku Tidak Suka Tidur Bersama Pancasila


Aku terperangkap [atau terkepung? Tersandera? Tertawan?] oleh ironi hidupku sendiri. Sepertinya oye kalau aku membuka entri dengan kalimat ini, meski terus terang aku tidak bisa memutuskan kata kerja mana yang harus kugunakan. Apapun itu masih jauh lebih baik daripada Nikmatnya Mereguk Perawan Kencur—meski aku sedang melakukannya kini, sampai bersimbah peluh sekujur tubuhku. Sudah dua “meski” kugunakan sejauh ini, sedangkan [‘duh, “sedangkan.” Hei, setidaknya ‘duh-ku ada apostrofnya, yang artinya ada bagian kata itu yang kuhilangkan, vide Ivonne Ruth] Johnny sudah setengah gila.

Una Guantanamera sin la paloma blanca
Betapatah tidak setengah gila jika ingin ke Havana tidak kesampaian juga; sekalinya sampai diantarkan Zoë Brân, bikin marah saja. Aku masih ingat waktu itu kami bertemu dengan seorang perawat homoseksual. Lamat-lamat aku juga ingat suasana rumah di mana Zoë belajar bahasa Spanyol—gila, ke Cuba dan tidak mengerti sepatah kata pun bahasa Spanyol. Lalu, Guantanamera, seperti halnya Habanera. Uah, aku berani bertaruh Cantik memang benar-benar seperti cewek latin, sebagaimana halnya aku seorang vaquero yang dibaca seperti bagero hahaha. [Ini Havana kenapa meletot-meletot begini?!]

Teringatnya, Jumat kemarin sebelum mengajar Pancasila aku menghabiskan siang bersama Taishō Yamamoto Isoroku. Ia menertawakan lemahnya mentalku. Untunglah aku bukan seorang perwira junior di angkatan lautnya, kalau tidak mungkin katananya sudah mendarat tepat di puncak kepalaku—meski mungkin masih disarungkan. Dudukku—baik dalam suatu pertemuan resmi, terlebih jika seorang diri—selalu saja menggelesot menekuk bungkuk tulang punggungku; tidak seperti beliau yang—meskipun Taishō—selalu duduk syaappp grak! Pantaslah dulu almarhum Pak Karim suka meluruskan punggungku ketika apel atau upacara. Posturku memang bungkuk.

No excuse, Sir! Aku mungkin memang tidak berhak atas pelukan, gelinjang dan ciuman Habanera maupun Guantanamera. Aku tidak akan mungkin menjadi salah satu pilot Tahi Ular apalagi prajurit Kavaleri ke-7 yang diangkutnya ke Lembah Kematian. Aku bahkan tidak yakin apakah aku cukup baik untuk menjadi anak buah Margonda atau Guevara. [Tito, apakah sudi menerimaku?] Namun aku sudah kadung pasrah bongkokan bersetia pada... Pancasila? Demi jaya Indonesia? Sedangkan Mas Widodo dan Mbak Rita sudah sulit hidupnya berjualan kelontong, karena untung dari berjualan gas elpiji 3 kg hanya Rp 2000?

Apa lagi yang dapat kukatakan? Tidak ada. Kata-kata, jika itu dariku, sudah tidak ada gunanya. Lebih baik kugunakan suaraku ini untuk menghafal al-Adiyat dan al-Zilzalah, baru kemudian al-Bayyinah. Tiffany Angelica Temajaya kemarin Jumat memintaku untuk mendongeng, karena—menurutnya—diskusi di antara teman-teman tidak menambah pengetahuannya. Paklik memang pandai mendongeng, ‘Nak, tapi yang akan berminat mendengar dongeng Paklik paling kamu dan beberapa gelintir lain. Sisanya... aduhai, ini mengenai Pancasila, ‘Nak. Ini mengenai Pancasila sedangkan sekarang sudah tujuh puluh tahun berlalu bahkan lebih.

Kenapa jadi Pancasila melulu? Oh, sedangkan Ki Macan sudah tidak pernah mengunjungiku lagi, sudah lama sekali. [huhuhu tersedu-sedu] Jika begini aku teringat tulisanku mengenai mahasiswa yang saling berpamitan ingin berangkat demo lalu melapisinya dengan plot mengenai seorang centurion gila yang sudah tidak percaya pada kejayaan Roma—dua tahun sebelum film Gladiator rilis! [seakan keterangan terakhir ini penting] Sepertinya memang aela iacta est! Aku tidak tahu apakah dalam hidupku ini aku akan pernah menyetir Rubicon. Aku tidak akan menyetir kecuali aku memilikinya. Tidak akan pernah!

Cinquecento. Perfetto!

1 comment:

Andri S said...

Lama tidak buka macan gondrong.