Tuesday, September 22, 2015

Seonggok Sirih, Sekuntum Pepaya Merah


Sudah lama sekali aku tidak membuat entri dengan teknik ini, iaitu, membuat judul terlebih dahulu baru menulis agar sedapat mungkin sesuai dengan judulnya itu. Uah, jet tempur ini menggangguku saja, memutus iring-iringan gagasanku, meski aku tidak benar-benar Menyukai Chopin kecuali jika ia sedang duduk-duduk di Gazebo di sore hari ketika hujan turun. Uah, sialnya segala sesuatu terasa demikian romantis, melankolis, sentimentil gara-gara mimik muka yang menjentrik seakan-akan terlatih itu. Habis sudah segala omong-kosongku.


Pepaya bisa dipetik kapanpun. Tinggalkan ia toh matang juga dengan sendirinya. Kuning di luar, merah menyala di dalam, manis sempurna. Begitulah pepaya di musim kemarau panjang ini, yang selalu saja menerbitkan dahaga, menerbitkan selera. Biar saja sampai gila, tetap saja aku tidak akan segitunya Menyukai Chopin. Hanya bayangan tentang Gazebo di remang cuaca, ditingkahi gemericik tetes-tetes air hujan saja yang membuatku bertahan. Bayangan ini membangkitkan rasa sakit yang—entah mengapa—selalu kunikmati. [Tuhan, aku masokis]

Tidaaakkk!!! Hentikan!!! Aah, yah, hmm... sekeras apapun kuberusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa rasa sakit itu tidak untuk dinikmati, akhirnya gagal juga. Rasa sakit itu... nikmat. Senikmat pepaya kalifornia yang ada kalinya dan ada fornikasinya juga, itulah rasa sakit yang kurasa sekarang. Hampir aku tak peduli pada seonggok sirih merah, karena rasanya pahit getir sungguh tidak menyelerakan, membuat mencret pula. Apa peduliku jika kata orang ia membawa kesehatan, menyembuhkan luka dalam. Sirih merah tidak enak dan membuat mencret!

Aku tersiksa oleh paradoksku sendiri. Aku merasa terlahir untuk melindungi mereka yang lemah, namun sikap pribadiku sendiri pada yang lemah adalah... memusnahkannya! Semua yang lemah, semua yang buruk rupa, semua yang tidak laku harus dimusnahkan, dienyahkan agar tidak lama-lama menderita. Aku, kurasa, Pangeran Arthas yang membantai rakyatnya sendiri karena terkena wabah. Untuk apa menunggu mereka mati menderita karena wabah jika bisa kutumpas sekarang juga dengan pedangku, musnah dengan rumah-rumah dan dusun-dusun mereka sekali!

Jangan kau kira aku akan luluh karena penderitaanmu! Aku benci kucing betina yang menggelesot-gelesot. Pasti kutendang! Jika itu kucing jantan, kumaki-maki meski kubiarkan saja. Aku menggendong-gendong kucing jantan, anakan maupun bagongan. Hanya Schmong kucing betina yang kugendong-gendong itu pun karena ia sudah lupa pada kebetinaannya. Schmong adalah kucing. Titik. Aku suka... pepaya... yang kuning di luar, merah di dalam, manis menyegarkan—meski aku hampir yakin kalau pepaya, sirih, kucing bahkan aku sendiri sama gilanya!

Satu hal yang jelas, itu semua tidak ada! Ini bukan upaya swahipnotis. Ini adalah kebenaran dari Kebenaran. Semua itu, pepaya, sirih, kucing DAN terutama aku sendiri tidak ada. Ini hanya salah satu hari dari sekian banyak hari-hari yang kausangka banyak dan beriring-iring dan berturut-turut, yang sejatinya TIDAK ADA! Dengan begini saja aku merasa sedikit lega, tidak lagi mencari-cari kenikmatan dari rasa sakit yang kubuat-buat sendiri, untukku sendiri. Pepaya dimakan manis, Alhamdulillah. Sirih merah pahit getir membuat mencret, Alhamdulillah.

Dunia yang gila ini bagaimana? Penghuni-penghuninya yang gila bagaimana? Pepaya yang merah dan manis bagaimana? Sirih yang merah dan pahit dan getir dan membuat mencret bagaimana? Bukan urusanku! Urusanku adalah apa yang tepat di hadapanku, yang selalu merupakan batas tipis antara “sekarang” dan “masa lalu”—meski bagiku sekarang selalu berlalu terlalu cepat, meninggalkan lapisan-lapisan tebal masa lalu yang berminyak-minyak berlemak-lemak bagi yang menyukainya. Urusanku adalah sekarang, sekarang, sekarang... (till fade)

No comments: