Saturday, August 29, 2015

Aku Tidak Mungkin Terus Bila Tanpamu


Winamp boleh tetap klasik dengan skin klasik OceanGant pula, namun yang lainnya harus berubah. Mungkin karena sekarang aku punya teman, lagi. Malam ini sungguh gerahnya, kurasa setelah ini aku akan mandi air dingin. Semalam aku bahkan tidak bisa tidur sampai jam tiga pagi. Ketika kuputuskan untuk tidur di kamar belakang, aku terbangun sekitar dua jam kemudian dengan kaus oblong bersimbah keringat. Untunglah, dengan begitu aku tidak ketinggalan shalat Shubuh. Begitu.


Aku di sini saja. Ya, aku tidak beranjak. Aku diam di sini saja. Biarlah di masa laluku aku mengembara ke mana-mana, membiarkan keliaranku menjamah putri-putri malu, merebahkan mereka tidur. Namun sekarang aku di sini saja. Ya, karena aku mau di sini saja. Diam di sini saja, bersamamu. Tidak ada lagi yang kucari. Semua sudah kutemukan. Aku dan kau adalah sepasang bayi yang mencoba saling merawat. Adanya seperti ini, seperti inilah adanya.

Ketika terasa seperti nyastra, aku bisa apa? Aku hanya meluapkan apa yang memang sudah meluap-luap. Ketika dikelilingi, aku bisa apa? Apa karena gagasan-gagasan yang di luar kotak maka aku berhak dikelilingi? Apa aku mau? Mauku, aku dikelilingi oleh udara sore berangin sepoi di tengah padang rumput luas, memandang ke arah barat. Angin meniup rerumputan kering bersama bunga-bunganya sekali. Sepertinya musim kemarau, entah awal atau akhirnya. Jika bukan itu pun, tiada masalah bagiku.

Jika hujan pun, bisa tengah malam atau sore hari. Bisa di bawah hujan, dilindungi gelapnya bayang-bayang pepohonan. Basah dan basah sampai tidak bisa membedakan apanya yang basah, atau bisa juga sisa-sisa gerimis di sore hari menjimpit seutas cacing sedangkan mesjid terdekat mulai menyenandungkan shalawat. Dalam pada-pada seperti itu, aku kehabisan cinta karena aku tidak menggunakan dengan semestinya. Meski sekarang semua kembali ketika aku di sini saja, menghadap ke timur begini. Fajar belum menjelang.

Sisanya, adalah kelamnya rasia malam. Jahatnya malam yang menggelap merayap-rayap, bagai jari-jari dilhami birahi merayapi tubuh muda yang belum lagi dapat membedakan nafsu dan cinta. Hei, bahkan seorang begawan pun akan lungkrah jiwanya menghadapi ini! Lalu siapa kau? Lalu apa jadinya? Angkara-murka yang salah satu wajahnya hantu hitam? Syahwat kelamin yang geloranya lebih mengerikan dari gelegaknya angkara-murka? Keheningan hati yang tidak berani berpihak dalam menghadapi kenyataan hidup? Keberanian memihak kebenaran meski ada pada musuh?

Itulah sebabnya aku di sini saja. Setelah ini aku akan mandi air dingin, semoga tidak membuatku sakit. Telah kujelajahi dengan keingintahuan seekor anak anjing. Telah kukencingi meski seringnya aku mengencingi diriku sendiri. Telah kukalahkan meski seringnya aku sendiri yang kalah, sementara semua yang lainnya menang. Telah kutebah dada sendiri meski seringnya buah dada dengan puting-putingnya kuremas-remas, kupilin-pilin. Aku mau di sini saja. Aku mau terbaring seperti kecoa pada punggungnya. Kaki-kakiku kurentang-rentangkan, padahal sedang meregang nyawa.

Ini bukan sastra, Sayang. Ini sekadar karena aku seorang penampil, untuk tidak mengatakan mencari perhatian orang (MPO) —mengutip Pak Cecep Panpersi di suatu siang pada 2006. Sungguh aku tidak mengerti mengapa aku tidak begitu sistematis, padahal aku sekadar kecanduan cintamu. Aku ingin berjengit, aku ingin jijik, tapi aku lupa kuletakkan di mana otot penjengit itu, urat jijik itu. Kau memang... ah, sudahlah. Ini sekadar memulai dengan tujuh puluh sehingga mengakhirinya pun harus dengan tujuh enam. Begitu.

No comments: