Friday, September 18, 2015

Monogami itu Nama Sejenis Kayu, 'kan?


Dengan berakhirnya minggu ini, maka genaplah sepanjang minggu aku tidak ke mana-mana kecuali ke kampus. Itulah jarak dan tujuan bepergian—demikian pula rutinitas—yang masih sanggup dipikul oleh badanku, terutama di tengah-tengah musim kemarau yang rasa-rasanya seperti takkan berakhir. Alhamdulillah sepanjang minggu ini tidak ada keluhan fisik yang cukup berarti, kecuali tadi malam tiba-tiba kepalaku pusing dan—ketika kubaringkan tubuhku—jantungku berdebar-debar. Tidak bisa lain, itu karena aku mengonsumsi CDR dua hari berturut-turut.


Meski harus kuakui dua mangkuk soto ayam Hermina terakhir terasa jauh lebih enak dibandingkan kali pertama aku merasakannya, dan lumpia isi labu siamnya juga bolehlah disebut, Insya Allah, tidak ingin lagi aku mencicipinya untuk alasan apapun. Biarlah seperti ratusan mungkin ribuan hari sebelumnya aku melewatinya begitu saja tanpa pernah melirik. Biarlah pula hari-hari berlalu tanpa terasa, dengan penuh keselamatan dan keberkahan, hingga kemarau nan perkasa menyerahkannya pada hari-hari penuh titik-titik air, awan gelap menggantung yang menghembuskan udara hujan nan menyegarkan.

Namun untuk sementara ini, marilah jalani hari-hari kemarau perkasa ini dengan rendah hati, senantiasa mengakui kelemahan diri, badan dan jiwa. Biarlah kelak—yang mungkin tidak akan lebih dari beberapa minggu saja, cukup jari-jari dari satu tangan saja bahkan kurang dari itu—akan kubaca-baca lagi entri-entri ini sambil berusaha mengingat-ingat seperti apa rasanya menjalani hari-hari ini, sedangkan badan terasa sejuk belaka dan mata terpejam-pejam menahan kantuk. Semua ada waktunya, sekehendakNya—dan memang waktu terasa perkasa sekali sampai sementara orang merasa perlu untuk memberikan perumpamaan ilahiah terhadapnya.

Bahkan Allah sering sekali bersumpah dengan waktu! Sementara itu, Andre Novan al-Fatih seakan takjub demi menyadari betapa hamba masuk surga semata karena kasih-sayangNya dan sekali-kali tidak karena amalnya. Mungkin karena penghambaanku compang-camping maka aku bergantung sekali pada kata-kata ini. Apa lagi yang dapat hamba harapkan selain belas kasihanNya? Tidak juga karena aku menipu diri sendiri dengan khayalan bahwa Allah akan memaklumi “kenakalan-kenakalan”-ku. Tidak! Naudzubillah! Sudah pada tempatnya jika hamba sahaya hina-dina berlumur dosa dan kedurhakaan merasa malu akan dirinya sendiri. Sudah seharusnya!

Diri? Diri-rendah, ada juga. Diri-rendah menjadi nirdiri pun semata-mata karena kasih-sayangNya. Itulah sebabnya, tidak ada lain yang lebih ingin kulakukan saat ini daripada mandi air dingin, semoga membawa kesegaran dan kesehatan lahir batin. Besok—mungkin setelah bertemu dengan Bang Hendry Drajat Muslim—aku akan beres-beres rumah. Bersih-bersih rumah, bersih-bersih badan, bersih-bersih pikiran. Nyaman. Nikmat. Aamiin. Bang Hendry kenapa ya ingin bertemu denganku? Ia selalu mengatakan ingin membicarakan tentang klandestin, oleh itu pembicaraannya pun mesti klandestin.

Mungkin benar juga kata Sopuyan. Jika aku berkumpul dengan orang-orang ini terus, bisa-bisa semakin menjauh aku dari rencanaku melanjutkan studi doktoral—sedangkan jika dengan Sopuyan, itu tok pikirannya. Ia mendesakku untuk menemaninya ke Wellington, karena tidak mungkin Sessy ikut dengannya. Ini pun ada benarnya. Setua ini, membayangkan diriku sendiri di negeri orang cukup membuat berjengit juga. Terlebih jika Adik bisa berangkat bersama. Mungkin dengan begitu hatiku akan jauh lebih besar.

Ya, aku sudah kelelahan—untuk tidak mengatakan muak—berurusan dengan Pancasila dan orang-orang alfa ini. Aku memang tidak pernah terlalu suka pada mereka, dan mengerjakan sesuatu yang tidak disukai bisa sangat melelahkan. Mungkin aku memang butuh menyingkir barang sejenak. [berapa jenak?] Ini sudah seminggu penuh. Mari kita lihat saja bagaimana kugunakan Sabtu dan Mingguku besok ini. Akankah menghasilkan sesuatu yang mungkin dapat menjadi alasan untuk menyingkir barang beberapa jenak, ataukah entri Kemacangondrongan lagi saja hasilnya?

No comments: