Tuesday, October 27, 2015

"Aku Punya Sebuah Pertanyaan..."


Mendengarkan kaset itu kedua-dua sisinya. Ini mendengarkan dua kaset masing-masing hanya di satu sisi, yaitu Side A. Bagaimana pula?! Kaset-kaset memang sudah lama tiada, begitu juga pemutarnya. Hanya lagu-lagunya abadi terngiang terus dalam ingatan. Tidak seharusnya aku begini, terbawa suasana. Seharusnya suasanalah yang terbawa olehku. Namun tidak malam ini. Tarian Terakhir ini, dengan senandung gitar bajanya, seakan menggamitku, pada lenganku. Ia menempelkan kepalanya, memandang padaku dengan tatapan gemas seakan haus akan cintaku.

Cinta? Sedangkan burungku masup mendelep jika perutku kembung. Tinggal Tarian Terakhir ini saja, dan kenangan yang dibawanya, yang masih tersisa. Kenangan akan seekor tikus got yang meski kepalanya membotak namun masih membuncah dengan tenaga muda. Tikus got yang merayap-rayap di sepanjang gang tak berselokan, ketika Matahari Terbenam Karibia mengalun di telinganya. Ia terus saja melahap butir-butir nasi yang menghujan dari wajan penggoreng nasi di atasnya, tidak peduli pada derap-derap kaki di sekelilingnya.


Atau seorang lelaki gemuk di pertengahan umur duapuluhan, berjaket kulit potong-potongan kulit domba Garut. Sama dengan Tikus Got, ia pun tengah menikmati matahari terbenam—meski terbenamnya sudah agak enam jam yang lalu—bersama Atiek CB. Inderanya terpusat pada bintil-bintil lidah dan dinding kerongkongan yang dibiarkan telentang, telanjang dialiri derasnya bir hitam kesukaannya. Bahkan ketelanjangan Atiek CB tidak dipedulikannya. Hanya bir hitam khas Irlandia dan rokok kretek Kudus yang diijinkannya menyita terpusatnya indera.

“Aku Punya Sebuah Pertanyaan.” Kini ia telanjang dada, memamerkan kulit yang kemerah-merahan dibakar anggur putih, yang dibelinya empat atau enam botol sekaligus. Bukan keringat, bukan peluh yang mengucur deras dari benaknya, melainkan air mani kental yang amis baunya. Air mani pemuda tanggung yang dipeper-peperkan di tembok rumah kosong, yang berdebu tebal, yang membuat gatal. Bahkan nanah, tidak berhenti mengalir dari paruh burung yang sudah berubah menjadi raja singa. “Untuk apa itu semua?”

Untuk seorang pelacur kribo bergigi tonggos! Kribo bulu keteknya! Uah, aku jadi merasa seperti Jane dalam dekapan Tarzan, tapi kali ini dia Tarzannya. Ia seperti memukul-mukul dadanya sambil melolong-lolong, padahal itu aku yang menyentil-nyentilnya. Ya, dia melolong. Astaga, apa yang kulakukan di sini? Aku hanya tersesat dalam cinta, yang dulu kukira ramah dan bersahabat. Ternyata cinta adalah lampu temaram dan seprai yang entah kumal entah baru dicuci. Memang bau sabun colek dia.

Lalu kami melakukannya, Tarian Terlarang itu. Tarzan ternyata adalah seorang gadis kecil yang sekilas seperti cantik namun bila diamati sejatinya seperti Smeagol. Aku adalah Jane, dan Jane hanya ingin pulang ke Kampungnya, di mana bohlam temaram terlihat di kejauhan seperti pelita sedangkan persekitarannya gelap belaka. Sedangkan sekitarnya rumpun bambu yang basah oleh hujan sepanjang hari, dan jalan tanah ini becek dan licin seperti... [Pada titik ini Jane meraung seperti gorila tersentuh peniti]

Pulang. Itulah yang paling benar. Hentikanlah pengembaraanmu. Berbaliklah, dan susuri jalanmu sampai di sini. Mana tahu akan kautemukan jalan pulang, yaitu ketika kanan kirimu mulai berumput. Rumput yang benar-benar hijau dan tercukur rapi, sungguh mengundang selera. Nyaman bagi mata, nyaman bagi hidung karena bau ozon. Pada saat itulah kau akan berada Tinggi di Angkasa. Kau akan merasa seperti mengepak-ngepakkan sayap padahal sejatinya kau melayang, ya, sekadar mengapung. Saat itulah, kau di rumah.

No comments: