Monday, September 28, 2015

Entri Pertama yang Ditulis di Kota Margo


Setelah sekian lama Kota Margo menggantikan kebun Wijaya Tani di Kampung Gedong, bilangan Margonda ini—sudah hampir sepuluh tahun, yakni waktu yang kurang lebih sama dengan Kemacangondrongan mewarnai Jagad Jelantara—baru kali ini sebuah entri ditulis di sini. Setelah hampir sepuluh tahun! Jagad Dewa Batara, sudah begitu lama. Aku nangkring di atas sebuah bangku putar cantik seperti yang ada di Seven Eleven, di sudut timur laut Lantai Tiga ini, di suatu tempat yang dinamakan “Charging Area.”


Meski entri ini mustahil kuselesaikan di sini, biarlah terlebih dulu kucatat bahwa pada hari ini akhirnya tunai apa yang kuniatkan hampir sebulan lalu, yakni membeli al-Wasim, mushaf Quran yang tidak saja dilengkapi dengan terjemah bahasa Indonesia tetapi juga dipotong kata per kata dan diberi transliterasi pula. Sesungguhnya, karena yang terakhir ini pula aku memutuskan membeli al-Wasim di antara begitu banyak mushaf sejenis—di samping harganya yang relatif lebih murah dari lainnya. Semoga Allah berbelas-kasihan pada hamba dengannya, Aamiin.

Adanya aku tidak bisa menyelesaikan entri ini di sini, ada Cantik. Cantik hari ini berpuasa sedangkan sekarang, pada saat aku mengetik ini, jam menunjukkan pukul 17.18. Sebentar lagi Cantik mungkin sudah selesai dengan faisalnya dan kami akan berbuka di Dapur Kekaisaran. Segala puji hanya bagi Gusti hamba, pelindung seluruh alam. Di tengah-tengah keadaan yang sulit bagi banyak sekali orang ini, tidak henti-hentinya hamba makan enak—sampai-sampai lupa sudah berapa lama terus makan enak begini. Semoga ini bukan istidraj, naudzubillah!

Berapa lama waktu menyiapkan teh susu dan sup kepiting asparagus? Maghrib masih tepat 30 menit lagi dari sekarang, dan kedua hidangan itu baru enak jika disajikan panas-panas. Baterai X450C masih 50 persen, jadi mungkin aku merapat ke Dapur sekitar sepuluh menit sebelum Maghrib, kecuali Cantik sudah menghubungiku terlebih dulu sebelum itu. Uah, tetap saja situasi seperti ini tidak ideal untuk menulis-nulis. Aku seorang seniman, jangan aku diburu-buru. Michelangelo saja melarikan diri ke bukit-bukit ketika il Papa Teribile memburu-burunya.

Selain membeli al-Wasim yang artinya tampan dan berbudi bahasa, sebenarnya ada juga aku melihat-lihat buku-buku lain di Toko Gunung Agung. Melihat-lihat, karena sudah lama sekali aku tidak tertarik membeli buku kecuali untuk alasan yang salah, misalnya, karena harganya terlihat murah. Demikianlah maka aku tertarik pada tumpukan buku diskon dan menemukan Rangkuman Pengetahuan Alam Lengkap (RPAL) di situ. Ada sedikit haru terselip. Satu sisi karena buku ini bernilai sentimentil bagi generasiku, lain sisi karena ia harus bersaing dengan Mbah Gugel!

Kurasa, aku pun sudah kehilangan sebagian terbesar kemampuan membacaku. Sambil membolak-balik halaman RPAL tadi terpikir olehku mengapa aku sangat terobsesi dengan tata-letak. Tata-letak yang baik membantuku mengingat. Aku biasa mengingat suatu informasi dalam sebuah buku dengan cara mengingat DI MANA letak informasi itu, apakah di kanan atau kiri, di atas, tengah atau bawah halaman. Perkembangan teknologi digital membuat kebiasaanku itu menjadi kurang berguna. Kini aku harus berusaha mengingat-ingat kata kunci dan mengandalkan alat-alat penelusur.

—tepat di sinilah aku bergeser ke Dapur Kekaisaran dan berhenti mengetik-ngetik sejenak—

Sesampainya di Dapur Kekaisaran, aku segera memesan Teh Susu Hangat dan Sup Kepiting Asparagus untuk Cantik, sedangkan untukku sendiri aku memesan—seperti biasa—tim pangsit jamur, namun kali ini supnya tahu sifud—minumnya teh Cina aroma melati . Benar saja, ketika masuk waktu Maghrib, pesanan-pesanan itu pun tiba. Akan tetapi, Cantik belum datang-datang juga bahkan setelah waktu Maghrib sudah berlalu hampir 20 menit. Aku bahkan sudah sempat pindah meja karena duduk di dekat railing itu AC-nya dingin sekali, paha kananku sampai sakit.

No comments: