Sunday, September 06, 2015

Suatu Entri [Nyaris] Tanpa Masa Lalu


Pertama-tama, baiklah aku memuji Tuhanku dan berterima-kasih kepadaNya atas rasa nyaman yang tengah kurasakan kini. Demikianlah aku, duduk menghadap ke timur, menghadapi Asus X450C di atas meja komputer yang mini lagi bergoyang-goyang ini. [betapalah ia akan menahan beban monitor CRT tempo doeloe] Apapun itu, tidak akan kubiarkan merusak perasaan nyamanku malam ini, meski koleksi Richard Clayderman ini tidak seberapa endeus, meski namanya Romantic Melodies. Tetap saja aku mengetik-ngetik untuk menyenangkan hatiku sendiri.


Bahkan Bandrek Xtragin plus Jahe Merah saja terasa nyaman malam ini, sedangkan makan malamku adalah Nasi Karinya Loteriwa masih ditambah burger ikan. Tadi sebenarnya sudah minum es teh manis yang ngakunya Loteriwa Tea. Mungkin karena itulah, seharian ini aku terlalu banyak minum teh kurasa. Maka bandrek dengan jahe merah ini tidak ada salahnya. Maha Suci Allah. Jika perasaan hati dan badanku seperti ini, rasanya aku bisa melakukan apapun. Rasa-rasanya, Negeri Awan Putihnya orang-orang Maori pun sanggup kusambangi.

Malam ini jangankan masa lalu, bercerita mengenai diriku sendiri saja terasa malas. Apa ini berarti aku harus bercerita mengenai masa depan, angan-angan, cita-cita? Masih adakah cita-cita bagi seseorang yang sudah hidup selama empat puluh tahun penanggalan bulan? Masih adakah yang sanggup menarik minatnya? Sementara ada saja orang yang cukup longgar waktu, tenaga dan perhatiannya untuk mengamati jam tangan Bapak Setya Novanto, yang ternyata sama dengan jam tangan Jenderal Moeldoko. Aku pun baru tahu bahwa Pak Moeldoko konon pernah membanting jam tangannya itu.

Jadi, kata Bapak yang menulis mengenai jam tangan kedua bapak-bapak itu, moge (motor gede) pun sudah tidak memadai sebagai lambang gengsi, karena yang bisa punya banyak. Nah, ini ada jam tangan yang sengaja diproduksi sedikit agar pemiliknya merasa eksklusif. Sedangkan aku hanya ingin meningkat rumah. Ini saja mungkin tidak akan terjadi karena rumah yang akan kutingkat bukan rumahku. Lalu, apakah aku harus punya rumah? Atas namaku sendiri? Atau untuk anakku Fathia Rizqy Khairani, kubuatkan rumah begitu, dengan SHM atas namanya?

Aku malu pada kelomang kalau begitu. Kelomang saja, kurasa, tidak pernah membuatkan rumah untuk anak-anaknya. Ia percaya begitu saja kepada Allah Sang Pemurah yang akan begitu saja memberikan rumah untuk anak-anaknya. Apalagi kepada Cipto Junaedy. Ah, ia sekadar mencari uang, sama sepertiku. Pancasila? Masyarakat Pancasila? Aku harus mempancasilakan oom-oom yang masih suka main formasi-formasian membentuk angka di bawah terik matahari? Tuhan beri hamba kekuatan. Mungkin tinggal Negeri Awan Putih itu yang bisa menjadi cita-citaku.

Tidak juga. Ternyata masih ada beberapa buku [tentang agama. Kalau tentang segala macam lebih banyak lagi] yang belum kubaca secara patut. Buku-buku ini seharusnya istimewa, seperti kotbahku pada Togar agak seminggu lalu. Buku-buku ini seharusnya seperti teman yang saleh, yang Insya Allah akan membuat kita terpengaruh kesalehannya. Daripada telfon cerdik berinternet, kurasa buku-buku ini jauh lebih banyak manfaatnya, meski dalam telfon itu ada juga audio Quran beserta terjemahan Bahasa Indonesianya sekali.

Aha, ini dia! Jadi kapan kubeli Quran yang besar dan dipotong-potong kata per kata itu? Membaca di telfon membuat mata pedas, demikian juga membaca Quran saku yang sebenarnya ringkas itu. Kekurangan terbesar dari Quran besar itu tentu saja ukurannya yang besar, tidak praktis dibawa ke mana-mana. [halah, macam ke mana-mana baca Quran saja. Macam mau ke mana-mana] Hei, dengan perasaan hati dan badan seperti sekarang ini, kurasa aku berani ke mana-mana.

No comments: