Thursday, September 17, 2015

Kenangan Mematung di Bawah Lampu Jalan


Dengan mengemut Teman Nelayan rasa Mandarin dan Jahe, jarang-jarang aku menulis entri di malam Jumat Kliwon begini—terlebih jika ditemani Penelope. Bukan, bukan Penelope Cruz. Tahu tidak apa yang paling tidak kusukai dari Penelope Cruz? Ya, memang tidak ada satupun yang kusukai mengenainya—namun ada yang sangat tidak kusukai, yaitu bentuk cuping telinganya! Akhirnya aku tidak suka siapapun, laki-laki maupun perempuan, yang cuping telinganya seperti itu. It’s a big-big turn off.


Penelope pun telah berlalu, digantikan oleh Burung Mekanik Kecil. Aku tidak akan pernah ingin melupakanmu, terutama karena—entah mengapa—Ibu sangat menyukaimu. Aku mengetik di malam Jumat Kliwon yang udaranya terasa menggantung berat. Pernahkah aku mengalami yang seperti ini, atau lebih buruk dari ini? Apapun itu, Melodi Kecil ini cukuplah untuk membuat rasa hatiku mengapung, setidaknya melayang. Melodi Kecil dari masa kecil, di mana hidup seperti keran air berwarna merah marun cenderung kecoklatan. Seperti itulah.

Mengapa berkejar-kejaran? Mengapa terasa cepat sekali berlalu, kalian? Mengapa seperti ada yang bersiul di kejauhan? Ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang umum diajukan orang di malam Jumat Kliwon seperti ini. Mungkin sebaiknya aku menyeduh secangkir bandrek lebih dulu. Konon jahe baik untuk menjaga daya tahan tubuh, namun aku yakin yang terbaik—dan yang paling kubutuhkan kini—adalah berolahraga! Denganmu, Hidupku—meski engkau sedang tidur gelisah—aku merasa aman, tenang dan nyaman seperti ilalang kering dihembus angin kemarau di sepanjang landasan pacu.

Demikianlah maka secangkir bandrek disambut pergantian titinada dari Lagu Pujian untuk Cinta, sebelum memudar pergi. Cinta-cinta yang sanggup memeras air mata, seperti seorang pencuci piring memeras busa sabun dari sabut pencuci piring—iaitu, cinta ibu pada anak-anaknya, cinta Rasulullah SAW pada umatnya, Cinta Sang Pencipta pada ciptaanNya. Seandainya Ada Musim Semi Bernyanyi mengiringi cinta yang kautahu pasti palsu, itu pun takkan sanggup memeras sabut cuci sampai habis air dan busa sabunnya.

Sampai digeletakkan saja itu di wadah plastik, sampai dibiarkan saja itu kering oleh beratnya hawa musim panas, kautahu pasti cintamu palsu. Pada ketika itulah Nelayan-nelayan Mutiara mengayuh sampan-sampan mereka lambat-lambat, seakan menyesali, seakan dirundung malunya kepalsuan cinta—meski kemaluan dan kemaluan belum saling bertemu. [atau karena itukah kemaluan-kemaluan tidak bertemu?] Inilah elusan ragu-ragu pada kepala durjana, sedang elusan itu ragu karena memendam cinta—cinta yang masih terbagi antara kehendak alam dan kehendak diri!

Uah, meski hapsicord digantikan piano, takkan hilang kecap-kecap rasa spaghetti haluoleo menemani Janji Seorang Pedagang Telur. Dari semua narasi, mengapa yang kuingat hanya perbuatan baik berupa membantu melepaskan beban anjing jantan yang tengah birahi, dengan mengonani penisnya? Lalu apa bedanya dengan perbuatan Dedy Nurhidayat, S.H., ketika itu belum M.Kn. terhadap Bule, sedangkan bujang di gudang Babe Faishal pun diusir gara-gara tertangkap basah sedang onani?! Aku dapat merasakannya, kemaluan itu, seperti kemaluanku sendiri.

Inilah cara melukis termurah! Tempo hari sempat juga kupandang-pandangi manikin dan berbagai perabotan lukis lainnya di Toko Gunung Agung Margo City—Ya as-Salaam mahalnya. Aku bukan Dr. Belinda Rosalina yang punya hotel-hotel Amaroosa, yang bisa mendisain suite-suite—bahkan mendisain brosur atau sampul buklet saja aku tak mau lagi melakukannya. Begitulah adanya, Dik Fabian Rahim. Jika saja aku secantik mawar, mungkin aku lebih suka melukis dengan teknik-teknik terkini. Namun karena aku sekantung semar, maka aku menulis entri.

Wassalam ini hitam begini

No comments: