Friday, August 24, 2018

Bei Dir War Es Immer So Schön


Segala puji hanya pantas bagi Allah Tuhan seru sekalian alam, yang telah mengabulkan doa hambanya yang hina-dina ini! Masya Allah, jika di dunia saja sudah begini indah, betapatah keindahan yang dijanjikanNya bagi hamba-hambaNya yang beriman dan beramal soleh kelak di SurgaNya. Aku akan sabar menunggu. Keindahan dunia ini apalah, sekadar fana. Insya Allah, hamba akan menunggu yang tidak terhingga itu, yang tak terperi, Rabb. Sungguh Maha Benar JanjiMu. Lagipula, janji siapa lagi yang layak ditunggu?


Sialnya, di pagi ketika Pak Idrus Marham ditetapkan sebagai tersangka KPK ini, [pagi di Amsterdam, sudah siang di Jakarta] dengan raungan Pakde Paul demi melihatnya berdiri di situ, aku merasa seperti binatang. Dorongan-dorongan jasadku pagi-pagi begini minta dipenuhi, berturut-turut. Padahal pada saat yang sama, aku mengulangi lagi kesalahanku dari dulu-dulu—semoga kali ini bukan kesalahan, bahkan bukan kesengsaraan, melainkan keberkahan saja adanya, amin—pagi ini, yang sudah tidak terlalu pagi, ditemani semug teh label kuning.

Pagi ini juga, gara-gara Bang Udi Suhandoro, entah bagaimana aku dirundung genderang seruling. Dimulai dengan Canka Garuda Yaksa, lantas tentu saja Gita Jala Taruna, yang sampai hari ini aku bersikeras sebagai pencetus gagasan hiasan kepala walrus, karena Aku Seekor Walrus! Gambarku dahulu jauh lebih keren dari yang sekarang. Seperti tikus got, kata Rumi. Ada benarnya. Mengapa harus nangkring ‘gitu sih posisinya? Memang membuat pemakainya kelihatan lebih tinggi. Akankah ini menjadi obsesiku, menyumbangkan replika kulit walrus?

Pagi ini juga, aku melihat ganjalan sebesar bantalan rel akhirnya kisut mengempis. Dimulai dari khayalan akan rendang kerang sampai tidak bisa tidur, kemudian gulai kerang bertahu yang aduhai melimpah-ruah, pagi ini aku melihatnya tinggal sewadah kecil. Apakah ini waktunya bereksperimen dengan frikandel, bisa jadi. Disemur karena banyak kecap, mungkin juga. Semua urusan jasadiyah belaka, yang berhubung masih berjasad bagaimanapun sungguh pentingnya. Lantas mengapa ini Tolong Senangkan Aku pagi-pagi begini, sama saja dengan pagi menulis entri.

Pagi ini juga, sesungguhnya aku merasa kurang patut memulai pagi di hari yang merupakan penghulu hari-hari ini. Ketika orang merasa masih lucu untuk senantiasa kritis, skeptis, sinis pada apapun, aku melakukan kesalahan dengan riang-gembira menceritakan sesuatu yang seharusnya lebih kupendam dari aib manapun. Tanyakan Padaku Mengapa, dan ia sudah mati! Terserah Allah, aku tentu saja tidak tahu. Mengapa tidak kudoakan diriku sendiri saja, Pakde John, memohonkan ampun dan maaf atas dosa-dosaku sendiri yang menggunung mengerikan?

Tanyakan padaku mengapa kukatakan cinta padamu. Uah, sedangkan begitu saja Adik mengirim tautan berita mengenai Rony Rahman Gunalan disusul foto Atiqi Cholisni Nasution. Sudah lewat itu semua, sekarang sedang dijalani Fawaz Hamdou dan entah berapa juta yang sebaya dengannya. Kudoakan semoga kalian semua selamat menjalaninya, melaluinya, dan kelak mengenangnya sambil tersenyum penuh syukur, sambil terus meningkatkan penghambaan padaNya. Nyatanya semua kita hamba. Semua saja tanpa terkecuali. Selain Ia, pasti hamba! [lhah koq bisa kurang lima]

Tolonglah Cintai Aku. [wekwek wekwekwek] Nurul Faisal sudah jelas. Bagaimana Amri Hakim, masih ada Fahrurrozi dan Abdul Wafiy. Masya Allah, nama-nama yang bagus sekali bagi hamba-hamba. Aku suka Betawi seperti aku suka Papua. Aku suka keturunan Cina seperti halnya keturunan manapun, terlebih Kandahar! Aku akan selalu dirundung cinta kepadamu. Aku cinta cinta terlebih dan terutama Cinta. Nah, ini ternyata sebuah entri mengenai cinta dan seperti biasa Cinta. [ini punggung atas sebelah kiri kena’apa pegel begini]

Cinta memang selalu begitu

No comments: