Wednesday, August 01, 2018

Sebuah Entri Jelek untuk [Awal] Agustus


Setelah Juni empat, Juli enam, akankah Agustus menjadi delapan. Jangan sampai! Kalau perlu Agustus satu saja ini. Semoga. Aku masih ingat betapa akhir Agustus di belahan bumi utara sini tidak berbeda jauh panjang harinya dengan Jakarta, seperti halnya aku masih ingat turun beberapa halte terlalu cepat ketika kali pertama naik Veolia. Hei, ini tidak terlalu buruk. Memang segala sesuatu tidak akan terlalu buruk setelah berlalu. Coba, mau kau jadi capratar lagi. Tidak ‘kan. Seperti itulah.

Hiy, jadi capratar, sedangkan membayangkan Dua Agustus saja aku ngeri. Sudahlah, segala sesuatu akan berlalu seperti halnya segala sesuatu. Akankah berlalu hari-hariku bercakap-cakap dengan diriku sendiri. Aku hanya ingin semuanya rukun, seperti di cerita-cerita 'lah. Ya Allah, mengapa tidak Engkau karuniakan kepada hamba yang seperti itu, sedangkan itu benar yang hamba inginkan. Sebegitu buruknyakah keinginan hamba ini? Sungguh tidak terpikir oleh hamba, tiada pula dugaan-dugaan. Baiklah hamba mohon ampun saja kepadaMu, Maha Perkasa lagi Bijaksana.

Entri-entri ini, adakah yang membaca selainku. Mengapa kalian membacanya. Tentu tiada gunanya barang apa bagi kalian. Mungkin sekadar olok-olok perintang waktu. Lalu mengapa sekarang aku ingin ada yang membaca selain aku. Ini bertentangan dengan hakikat eksibisionisme! Namun aku kesepian. Sungguh. Seperti apa rasa prajurit yang harus berjaga sendiri di pos yang jauh dari peradaban, atau misalnya personil Angkatan Laut Denmark yang berpatroli di Tanah Hijau berkereta salju. Ini pasti jauh lebih mudah jika dibandingkan itu.

Sebentar. Kereta salju bagaimanapun masih ditarik anjing. Aku hanya bisa membayangkan betapa senangnya berteman anjing, sedangkan John Gunadi tidak setia lagi. Aku di sini berteman laba-laba. Itu pun mereka di luar jendela sana. Lebih baik begitu. Seringai kalian pasti lebih mengerikan dari seringai anjing serigala. Apa lebih baik berangkat tidur pamit kepada Hadi. Nyatanya pilihanku memang tidak banyak. Jauh-jauh semua pula. Aku belum mencoba Fajri. Mengapa pun harus kucoba. Mengapa tidak, sedangkan Karim dulu begitu.

Uah, masih satu jam lagi Isya’. Hariku ya begini-begini saja, bagaimana cara meningkatkan mutunya. Entahlah. Di manapun selalu sekadar menjalani hari-hari. Mana yang lebih enak, entahlah. Mungkin aku memang pengeluh. Mungkin aku memang keple. Masih baguslah nasibku untuk seorang keple. Masih minta dicintai, disayangi, dielus-elus. Apa tidak boleh. Apa salah. Sedangkan hal yang paling kuinginkan di dunia ini saja tidak kunjung kudapatkan. Setelah sekian lama, akhirnya kusadari, hanya itu yang kuinginkan. Aku memang tidak bercita-cita...

Bagaimana dengan akhirat. Tidak perlu ditanya. Kau tahu kau bukan siapa-siapa. Apa ruginya jika diri-rendahmu sama-sekali mati. Apa mungkin. Entahlah. Aku lebih suka duit daripada pujian, kurasa sekarang. Dunia bagaimanapun harus memilih. Masih bagus masih dapat. Ada yang tidak dapat apa-apa bahkan. Ada yang dapat semua. Biarkan saja. Sedangkan lampu crane itu tampak mengambang di udara malam-malam begini. Siapa yang menyangka kalau ini akan menjadi pemandanganku sehari-hari. Siapa yang menyangka aku akhirnya meninggalkan mushala HAN...

...untuk sementara. Ke mana aku ‘kan kembali, bilamana, tidak perlu kupikirkan sekarang. Kertas Delapan Bulan dan kursus-kursus keren itu saja pikirkan. Akankah aku mendapat sertifikat untuknya. Jika tidak pun akan kuminta, bila perlu buat sendiri. Aku sangat membutuhkannya, buat gaya-gayaan. Mungkin nanti akan kutulis di CV. Tidak. Aku tidak akan mendaku antropolog. Aku cuma ingin mengatakan, salah satu bidang yang kutekuni adalah antropologi hukum. Pernahkah ini kutulis sebelumnya di sini. Entahlah. Insya Allah seperti itu.

No comments: