Sunday, December 09, 2018

Suatu Minggu Siang di Uilenstede, Amstelveen


Pik lah udah, pik! Apanya yang pik? Ya, setelah setengah tahun hijriyah lambat-laun kamu banyak makan lagi, sehingga di Rabiul Akhir ini gendut lagi. Sampai ga cukup itu celana yang tadinya longgar setelah agak dua minggu puasa sekitar 19 jam sehari. Jadi tidak perlu menyalahkan sakit perut tiap akhir tahun atau apalah. Tuh kan akhirnya menulis entri lagi. Habis mau begimana lagi, ini masalah kemasan. Aduh, kemasan bagaimanapun menyesuaikan isi. Isi besar kemasan tentu besar.


Isi kecil kemasan juga bisa besar, bahkan tidak ada isinya juga kemasan bisa segede gaban. Aduhai, mau merevisi IuN, ini pekerjaan besar. Mau mengerjakan yang lebih “mudah” terbentur kemasan. Apalagi segala buku teks entah-entah itu. Sudah. Jangan diteruskan. Kerjakan atau diam saja. Ditulis di sini tidak akan selesai juga. Lalu apa bedamu dengan yang suka posting segala sesuatu di medsos. Lebih baik kau tulis di sini bahwa perutmu melembung lagi melebihi celananya sampai sulit dikancing.

Ini jez alus pake ada ombak-ombaknya lagi. Biarlah. Ternyata bukan gruvi, melainkan alus. Nah, ini ajip juga. Sore ini matahari keluar, kira-kira satu jam sebelum terbenamnya. Semoga masih sempat mampir ke Primark malam ini. Akhirnya kejadian beneran, handschoenen jatuh di metro! Aku lupa apakah dulu suka mengantongi handschoenen dalam Badboys, yang jelas waktu di Maastricht aku hanya punya satu dan satu itu saja. Gratis pula. [atau beli di kringloop?] Kini mau ga mau harus beli.

Benar belakalah Adrianus Eryan bahwa entri tercipta bila kita dalam keadaan limbuk; atau bisa juga ketika sedang rutin, seperti ketika tahun-tahun 2013 dan 2014. Aku semangat tidak ya? Semangat dong. Bagaimana mau semangat jika tidak terbayang seperti apa. Akankah aku punya rumah yang agak luas, dengan pekarangan yang lebih luas lagi. Terpenting, ada gardu belajarnya. Aha, masih saja. Lantas apa yang akan dihasilkan gardu itu, jika masalahnya sekarang ternyata kemasan?! [Engkau paham betul apa keinginanku]

Sungguh untuk diriku sendiri tidak penting. Apakah senang hatiku jika aku punya semacam Begreno Home begitu untukku sendiri? Untuk apa punya begituan jika tidak ada Ibu dan Bapak yang senang tinggal di sana? [dan mungkin Mama dan Tante Lien juga] Dan dengan kemasan ini, aku tidak yakin lagi pada gardu belajar, bahkan pada belajarnya itu sendiri. Yang benar mungkin seperti Takwa itu. Berbisnis. Tapi aku tidak bisa begitu. Kalau bisa tentu sudah sejak dulu kulakukan.

Bahkan Rendy sendiri mungkin tidak bisa. Ah Hui bisa. Bahkan Mahawisnu bisa. Aku tidak. Sopuyan tidak. Rendy? Membayangkan Rendy tidak bisa, kecut hatiku. Rendy saja tidak bisa apalagi aku. [berjanjilah kesempatan pertama sampai Jakarta berusaha menemuinya] Berapa banyak utangku pada siapa saja? [Berjuta-juta! Ya Allah, mampukan, sanggupkan hamba untuk melunasi semuanya] Rahmat Bagja saja, kata Bang Isal, orang pinter. Jadi mesti sehat. Tidak boleh kebanyakan makan. Bagaimana, besok sanggup? Harus dong. Bismillah. Insya Allah sanggup.

Ini Torabika Creamy Latte entah-entah. Bukan. Yang entah-entah aku sendiri! Sudah tahu selalu begini akibatnya, mengapa dicoba juga. Jadi dari dulu kalau merasa mengantuk di waktu seharusnya bangun, padahal cukup tidur, solusinya bukan kopi, apalagi kopi-kopian. Itu aktivitas virus, yang berarti daya tahan tubuh sedang lemah. Makanya jangan lemah. Makanya olahraga teratur. Hadi sedang ke Den Haag urusan Panitia Pemilihan Luar Negeri. (PPLN) Hadi sedang menjadi Hadi. Aku harus bisa lebih baik dari diriku sendiri.

Etdahbuset di sini bisa juga Udan Kethek Ngilo

No comments: