Sunday, December 23, 2018

Diganti: Seperti Makan Micin dengan Chiki


Kalau benar itu alasanmu, mengapa bukan Pak Kaji. Iya, ‘kan sudah kukatakan itu. Aku berbohong. Tepatnya aku menutup-nutupi sesuatu. Apa itu. Biasa. Diri-rendahku. Tidak. Ini bukan karena berada belasan ribu mil dari... mana. Ini lebih seperti berada belasan ribu kaki di surga. Maafkan aku, Dokter. Mungkin benar katamu itu. Kelebatan-kelebatan gagasan. (flight of ideas) Kau mau memaafkan kekuranganku ini ‘kan. Kau pasti mau. Kau dokter benar-benar. Ya, tepat seperti yang kubayangkan mengenai seharusnya seorang dokter.


Jelasnya, aku menulis ini karena tidak mau mengawali kalimat dengan “yang”. Aku gagal lagi menjadi cerpenis. Pram juga menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan cerita. Tapi ia juga menceritakan banyak sekali orang lain, tentu dibumbui dengan khayalnya sendiri. Bedanya, aku ‘membumbui’ khayalku sendiri dengan cerita mengenai orang lain. Hahaha, seperti makan micin dengan chiki. Ini seharusnya judul entri kali ini. Jangan Dokter Icang. Nah, ini lebih suai dengan Kemacangondrongan; dan aku tidak kuasa mengkhianati tujuh lima.

Sedang orang-orang mencipta berbagai hal yang berfaedah bagi hidup dan kehidupan, aku mencipta eksibisionisme dalam format tujuh lima jadi lima dua lima. Biar aku mati dulu, jangan seperti seniorku Denny JA. Biar aku seperti Vincent. Di Minggu pagi yang sunyi dan mendung ini, aku berkesenian setelah menjejali perutku dengan indomie goreng rendang dua bungkus sekaligus, masih dengan cemilan suiran ayam kebap yang rasa-rasanya sudah tidak terlalu segar. Apa karena anak-anak sekolah sudah libur. Bisa jadi.

Di sampingku, seperti biasa, mug kelabu pucat berisi ramuan rempah musim dingin berbasuh madu. Aku bahkan menginginkan campuran Wina sekarang. Bila masih ada hariku, Insya Allah, biar kukenang hari ini, hari-hari terakhirku di studio Kees Broekmanstraat 218, barang-barang berserakan sedang aku masih tidak ada gagasan bagaimana cara terbaik untuk mengepaknya. Aku benar-benar menyanding secangkir campuran Wina sekarang! Eh, tadi mengapa Dokter Icang, bukan Pak Kaji katamu. Nah, coba sembunyikan ini. Bukan karena memanjat kursi dapur...

...bukan pula karena medewerker pas. Ah, kau tahu ‘lah. Tidak, aku tidak tahu. Sialan 'lu! Sekali sesapan saja membuatku urung membawa campuran Wina ke rumah. Mungkin sudah benar itu Douwe Egbert saja. Siap ini akan kubongkar lagi koper untuk mengeluarkan plastik-plastik berpenutup. Buat apa pula kau urusi plastik berpenutup. Memang harus kuurusi karena itu penuh dengan kenangan Cantik. Begitulah aku, seorang yang setia. Prek! Tahi! Uah, pas betul berbom-bom-bom Seandainya Aku Tidak Peduli dari mudaku.

Jadi begitu, ya. Seperti biasa ini adalah entri inkoheren. Aku tidak tahu malu. [masih harus kaukatakan juga?] Aku tidak punya kehormatan. Seperti Paman Yat-fei Si Kepala Besi, aku memakai celana dalamku di kepala dan minta dikencingi. Untunglah tidak ada yang melakukannya sampai hari ini. Bisa-bisa kembali lagi kepala besiku. Bisa-bisa main bola lagi aku. Aku jadi kangen Zulkhali Duki. Masih maukah ia mengencingi mulut Rudy Saladin. Mengapa harus mulut. Apa dia sudah pernah nonton begituan.

Yah, biarlah Hari Demi Hari mengembalikan kewarasanku berangsur-angsur. Dalam kesejukan senja hari, badan bersih habis mandi, bersarung, teh hijau satu gelas besar. [yang mungkin telah menggerus dinding lambungku selama bertahun-tahun] Kembali jelas tidak mungkin, namun terkabulnya doa adalah keniscayaan. Ya Allah, kacau benar aku pagi ini. Namun aku tidak mau lagi berdoa di sini. Ini memang tempat kekacauan. [maafkan aku, Ki Macan] Uah, Ki Macan sudah tidak ada! Akulah Ki Macan! Tiada lain aku sendiri!

...dan selalu aku. Sendiri.

No comments: