Monday, December 03, 2018

And They Call It "Tummy Love"


Aku tidak akan bicara mengenai sakit atau [ke-]buruk[-an]. Ini awal Desember. Sempat juga terpikir olehku menulis sebuah eulogi. Namun yang kemarin saja tidak diabadikan, mengapa yang ini harus. Terlebih, awal Desember di tepian Buiten Ij begini, hal terakhir yang ingin dilakukan seorang lelaki adalah menonton film mengenai cuaca buruk. Nah, ini lebih mengena. Meski titik hujan terus jatuh di atas kepalaku, aku tidak akan bersedih. Ini malah seperti hujan rahmat. Aku bebas. Tiada yang merisaukanku.

Aku pun tidak akan membutuhkan wiski atau anggur untuk mengusir perasaan tertekan musim dingin. Lebih baik aku bertemu di Lavandou dengan entah siapa. Apakah pengusaha herbal atau kepala kantor internasional, atau kawan lama dari waktu-waktuku di Maastricht. Atau gang kecil di belakang ruko-ruko yang dahulu ada Darma.Net-nya. Apakah Felix.Net masih ada, sedangkan Haji Telecom saja masih ada internet cafĂ©-nya. Majulah ayo maju menyerbu sampai titik darah penghabisan. Hancur lebur perintang kemerdekaan! Jangan menyerah, kata d’Masiv.

Apakah aku ini ilmuwan. Kalau ilmuwan mengapa meracau. Kalau ilmuwan mengapa hiperbolik. Oh, benar-benar berbeda rasanya. Malam ini dan beberapa malam yang lalu. Mungkin memang beginilah akhirnya Asus X450C, untuk bersenang-senang. Sedangkan HP Stream 8 malah untuk bertempur. Sudah tidak pada tempatnya membandingkan, bahkan sekadar membayangkan diriku seorang Ji-Ai, entah di Point Kumana atau di mana. Lebih baik aku membayangkan diriku seperti Gerben. Seperti apa dia. Seperti apa Laurens. Adriaan. Sungguh kasihan. Aku bisa apa.

Minum rum dicampur coca-cola, hahaha dengan terompet yang ditutup pengedam. Uah, rasaku! Dari mudaku. Di pojokan itu, di bawah tangga. Sekarang jadi sarangnya Pak Amin. Tinggal dijalani. Kurikulum sudah berubah entah berapa kali. Mengapa resah. Mengapa gelisah. Sedang anak-anakku sudah gadis semua. Tiada akan lama mereka akan menjadi perempuan. Aku tidak gelisah. Aku hanya harus... Aku... Ah, sedangkan Duma, sedangkan Klowi, sedangkan Luna. Aku memang sentimentil. Kurasa aku akan selalu begini. Aku hanya harus bertahan.

Lalu campuran kunyit dan cardamom, diberi madu. Aku mengidap hipertensi. Semakin lama entri-entri semakin tidak bisa dibaca. Aku membiarkannya begini. Ini hanya tinggal sisa-sisa, karena aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Tahuku hanya ini. Akankah aku masih sanggup menjadi ilmuwan, tidak malam ini. Mungkin besok pagi. Entahlah. Bukan aku tidak pernah dengar Tome Pires. Bukan aku tidak pernah dengar Suma Oriental. Apalagi Babad Tanah Jawi. Akhirnya sampai juga ke tepi sana. Naik feri gratis lagi.

Dan ketika engkau memelukku, betapa hangatnya dirimu. Namun mengapa aku harus memilikimu. Itulah sebabnya. Sebenarnya engkau itu pemberian, tapi tidak berarti lantas engkau menjadi milikku. Meski tetap saja aku berdoa memohon milik. Tidak. Aku memohon karunia. Jauh di dalamku terdapat cukup cinta untuk kita bagi berdua. Lihatlah sekeliling dan kau akan menemukannya di situ. Uah, ada hari-hari tiba-tiba saja aku enak bernyanyi-nyanyi diiringi petikan gitarku sendiri. Untuk diriku sendiri dan dinding-dinding ini. Lain itu tidak.

Malam ini... bahkan aku tidak lagi percaya pada entri. Jika aku saja sudah enggan membacanya, betapatah ada yang masih suka membacanya. Aku jelas bukan Mochtar Lubis atau siapapun itu. Aku justru teringat padanya, yang sempat terpikir olehku untuk menulis eulogi. Di sini. Kasihan betul jika itu sampai terjadi. Ini tempat berolok-olok. Aku saja yang tolol membayangkan ini bisa dikurasi. Kurasi wasaisi! Siapa aku, SM Ardan?! Sepuluh kata terakhir ini kutulis sekadar agar lima dua lima.

No comments: