Sunday, July 15, 2018

Perancis Juara Dunia Sepak Bola di Meent


Sedangkan aku malah main-main bola sepak dengan Nayla Zahra, yang membuatku merasa penderitaanku tiada berarti apa-apa. Memang bisa-bisa konyol kelakuan memperbanding-bandingkan begini. Jikapun mau, lakukanlah seperti apa yang dicontohkanNya dalam Quran. Manusia memang suka membanding-bandingkan, dan dengan cara itulah mereka belajar. Sudahlah, ini bukan tempat sok bijaksana. Ini adalah pengabadian kolam kecil musim panas yang cantik, dikelilingi pepohonan, ditingkahi entah oboe entah terompet Perancis. Terlepas dari teriakan-teriakan para pendukung Perancis, bukan itu yang aku dengar.


Ada juga yang meragukan Royal Philharmonic Orchestra, (RPO) menuduhnya menggunakan kibor murah. Sempat juga terpikir begitu, meski seterusnya semakin ragu. Terutama setelah mendengar ratapan viola solo, mungkin memang benar RPO. Hanya terpikir olehku, jika lagunya seperti Bruno Mars atau Meghan Trainor seperti sekarang ini, RPO bisa gulung tikar; atau mungkin memang sudah gulung tikar? Dunia terus berubah. Anak-anak kecil menjadi orang dewasa. Tiada akan lama lagi sebelum Nayla tumbuh menjadi seorang gadis seperti kakaknya Fia.

Aku masih bisa meracau di sini, bagaimana dengan Nayla? Ia hanya punya bapaknya. Bahkan teman mungkin dia tidak punya, kemarin saja bertengkar dengan Linda. Aduhai, lelakon hidup manusia. Ada yang sekadar ngelakoni, ada yang beriman seraya beramal shalih. Begitu saja senandung flute melemparkanku ke masa-masa yang telah lalu, yang mempertemukan kami kembali di tapsiun Duivendrecht sampai Meent, berpisah di van Boshuizenstraat. Informatika Gajah Duduk jelas bukan sembarangan, terlebih dengan beasiswa pula, meski gagal menjadi penerbang.

Lalu apa gunanya menulis di sini? Adakah tulisan-tulisan ini balik berbicara padaku? Tentu tidak. Adakah yang benar-benar kubutuhkan adalah seseorang yang balik berbicara padaku, seperti halnya Hadi yang terbiasa pulang bertemu orang dengannya ia akan bercakap-cakap? Mulai lagi kalimat-kalimat tanya ini. Aku berharap ini semacam posimpresionisme, eksibisionismeku ini. Jangan sampai ia menjadi puisi esei pula karena aku pun tidak punya duit. Bisaku hanya ini. Aku bukan Fred Holleman yang menulis novel. Aku Bono yang bertujuh-lima-lima-dua-lima.

Namun Holleman menyelesaikan disertasinya, bahkan mengucapkan pidato inaugurasi yang mengharu-biru Sofyan Pulungan. Aku sih tidak. Ini pula Budi Arsika nyela-nyela. Bukan. Kalau ada yang benar-benar harus kaulakukan, itu adalah ITU! Mengapa lancar sekali benakmu menyuruh jari-jari mengetuk-ngetuk, kemudian menghunjam enter? Apa tidak bosan? Lalu mengapa berlama-lama di rumah, tidak segera ke kantor? Apa karena tidak ada jadwal mengajar? Kalimat-kalimat tanya lagi, yang membuatku justru semakin tidak lihai menyusun pertanyaan penelitian. Bagaimana mau jadi ilmuwan ulung?

Aku juga tidak mau disapa sembarang orang. Huh, aku memang pilih-pilih, seperti Dr. Doel Salam pilih-pilih kuah bakso. Setidaknya aku bukan Hadi yang masih punya tenaga untuk ber-PPLN, atau Pak Ibnu Fikri yang tidak dibayar mengetuai PCI NU. Jika kau merasakan ini, ingatlah Nayla dan bapaknya. Sebenarnya ingat Allah sih. Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Benar ini. Tidak. Aku tidak mau berdoa di sini, sedang ini mungkin adalah Waktu dalam Hidupku dari Tarian Kotor.

Kotor? Maksudmu seperti lethek gitu? Seperti tuwa, bacin lagi? ‘Tuh kalimat tanya lagi. Sudahlah. Sekali menebak langsung benar. Sekali saja itu. Perancis juara dunia sepak bola di Meent. Seperti kata Gerben, kemungkinan besar nelayan kalah, maka bertemanlah dengan pengusaha, demikian Laurens hahaha. Tidak tepat begitu kata-katanya, sih. Jangan-jangan aku yang diam-diam ingin mewujudkan kebohongan yang terus saja kuulang-ulang. Astaghfirullah, bagaimana mau masuk surga jika begini caranya? Dengan ini berakhirlah Waktu dalam Hidupku dari Tarian Kotor.

No comments: