Thursday, December 13, 2018

Cinta adalah Suatu Permainan yang Aneh. Lho?!


Haruskah aku meninggalkan lima dua lima sekadar agar entri-entriku koheren? Lihat! Belum-belum sudah memulai paragraf dengan ini. Amboi, mana mungkin akan menjadi paragraf yang koheren? Entri, nyatanya, memang tidak pernah benar-benar berisi cerita. Entri selalu mengenai letupan-letupan perasaan, dan, aduhai, betapa perasaan memang selalu meletup-letup. Itulah yang kurekam dalam sebuah entri. Akhirnya aku, pada karater kelima puluh, memutuskan untuk kembali pada lima dua lima; karena aku tidak tahan! Biarlah tujuh lima menjadi penanda. Sudah begitu saja.

Ini Sam, tidak dengan sayur kol, tetapi dengan dedaunan kering
Nah, sekarang pindah. Betapa melegakan. Seperti apa. Malam ini aku sedang tidak merasa lega. [atau merasa tidak lega] Apa benar yang kurasakan malam ini. Yang jelas, roti gandum kasar dengan selai jahe saja sudah nikmat. Apalagi roti putih. Makanan mungkin akan menggairahkanku. Akhir pekan ini cuma harus kutahankan. Cuaca mendadak cerah. Awan-awan menghilang. Udara menjadi dingin dan kering. Tetap saja harus shalat Jumat. Pakai celana yang mana. Halah, begitu saja menjadi problema, 'emangnya Gito Rollies.

Kurasa kebanyakan orang seperti aku begini. Atau tidak banyak. Atau ge-er. Atau teman. Masa tadi aku membatin tidak ada yang lebih memahamiku daripada Tante Connie. Kenyataannya sekarang Tante Connie sedang menemaniku, seperti halnya aku menggunakan sebutan dengan gelarnya sekali sebagai panggilan. Aku ini apa-apa’an. Ini sudah kembali seperti aku yang biasanya. Begitu Senin atau Kamis malah lupa. Begitu Jumat malah kepengin. Maka celana jadi sempit. Pikiran seringnya tidak menyimpang dari kekentuan. Padahal sudah tua. Bodoh.

Kujalani hari-hariku seperti ini entah sudah berapa lama, entah berapa lama lagi. Akhirnya menulis entri lagi. Entah mengapa makan bakso di sore hari berhujan, di seberang Pasaraya Manggarai, setelah itu shalat maghrib berjamaah, sering sekali menjelang. Apakah itu ketika kali pertama bertemu Laurens. Bukan baksonya yang jelas. Bakso justru Bu Dini, yang mungkin akan kukenang selalu. Kesederhanaannya. Kemantapannya. Betapalah tidak menggelendut begitu caranya. Dipaksa tambah terus sama Pak Kaji. Ah, alasan saja. Padahal memang doyan.

Dalam hidup ini, di dunia ini, segala sesuatu selalu datang dan pergi. Lalu Dugem. Pasti dia ingin cabut dari NMN. Ya, cabut saja. Berat, membuat berat. Aku tidak bisa mengisi waktu luangku dengan yang terlalu berat. Jika ringan tentu saja tidak pantas dibayar. Masa mengisi waktu luang minta dibayar. Ah, mau Tante Connie, mau Oom Cliff, sama cantiknya. Selalu cantik, demikian juga ketika digesek Paolo Mantovani. Aku mau marah. Aku sudah marah. Aku sedang marah.

Nyatanya dipenjara juga tidak produktif. Nyatanya hanya merintang waktu. Nyatanya entri lagi saja hasilnya. Sudah begitu berkhayal minta dikurasi sekali. Ini lagi Suatu Saat di Kehangatan Mentari. Aku malah tidak merasa begitu. Ini adalah hangatnya malam hari. Di mana. Di salah satu kamar Mess Pemuda yang baru saja kurapikan. Di manapun berdinding putih, bercahaya lampu neon putih. Berperabotan kayu model lama berpelitur gelap, dengan bau agak apak, agak lembab. Berkomputer atas meja tapi CPU-nya berdiri.

Banyak bukan hari-hari, malam-malam seperti itu. Banyak sekali. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu. Mengerikan di masa mudamu seperti itu. Lalu apa bedanya dengan masa tua. Lihatlah. Begini akhirnya entri yang dicita-citakan koheren. Sudah kukatakan. Mana mungkin koheren, apalagi dengan suasana hati seperti ini. Apakah ketika itu sudah turun salju dengan lebatnya, sangat bisa jadi; karena natal hanya berdua, bertiga dengan Sam yang minta pipis. Maka kuantar sebentar keluar. Segera masuk lagi. Apa kabar, Sam.

No comments: