Monday, December 31, 2018

Entri Keenam yang Ditulis di Bagasnami


Kami berangkat lumayan pagi. Maafkan jika aku tengah kesulitan mengingat rincian. Aku baru tahu jika penat terbang (jet lag) dapat berakibat begini. Ini pun—mencoba mengingat-ingat rincian—kulakukan dalam rangka mengatasi penat terbang. Tidak juga. Aku hanya tidak suka jika Desember punya sembilan entri. Mengapa tidak sepuluh, sehingga tahun ini genap empat puluh entri. Aku hanya ingat kami berangkat lumayan pagi hari ini. Bahkan sarapan apa pagi ini aku tidak ingat. Ini sebenarnya mengerikan, karena aku benar-benar nyaris mengandalkan ingatanku semata untuk nafkahku.


Sesampainya di rumah Mama, seperti biasa asbah. Tante Lien sedang keluar ke Pipal bersama Afifah dan Nadia. Tiada berapa lama mereka pulang. Kali ini, Afifah dan Nadia yang asbah padaku, paman mereka yang baru datang dari Amsterdam. Tiba-tiba saja aku punya ide untuk memberikan cangkir-cangkir Maastricht 2017 yang tersisa pada mereka. Satu sudah untuk Khaira, maka dua lagi rasanya pas jika kuberikan pada Afifah dan Nadia. Aku masih ingat Afifah mengatakan kepada sepupunya itu, "kita punya cangkir yang sama." Afifah, kurasa, adalah seorang gadis kecil yang ekspresif, tidak seperti kedua saudara sepupu perempuannya sesama cucu-cucu perempuan Nenek.

Lantas, aku tertidur. Kata Istriku aku tertidur nyenyak. Satu pertanyaan yang paling sering kuulang-ulang beberapa hari terakhir ini adalah apakah aku mendengkur. Ya, itu bisa menjadi tanda nyenyak tidaknya tidurku. Kata Istriku, ketika itu aku mendengkur. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai rencana menghabiskan malam tahun baru di Sultan Residence. Yang ada di kepalaku, aku ingin menraktir Afifah makan sop ikan Batam, seperti yang kujanjikan. Ketika terjadi kekusutan mengenai bagaimana pergi ke Sultan Residence, kupikir rencana makan sop ikan inilah yang akan dijalankan.

Nyatanya, beberapa menit setelah anak-anak dijemput taksi daring kiriman Kak Tina, datanglah taksi daring lainnya, dikirim Kak Tina juga, untuk mengangkut yang tersisa dari Kodamar, yakni Mama, Istriku dan aku. Maka berkendaralah kami, melalui tol JORR timur di atas Bypass ke arah selatan, lalu membelok ke arah barat masuk tol dalam kota. Ketika itu yang dibahas adalah sudah akan ditutupnya Sudirman Thamrin untuk keramaian malam ini. Apa pentingnya bahasan ini untukku, sungguh aku sulit mengingatnya. Yang jelas tiada berapa lama sampailah kami di Sultan Residence, yakni menara keduanya.

Sesampainya di Lantai 17, keponakan-keponakan dan anak-anakku sudah ramai ingin berenang. Aku bersalam-salaman dengan kerabat yang sudah berkumpul. Lengkap sampai ada Mbak Endang, yakni kakaknya Mas Heru, dan satunya lagi yang aku tidak sepenuhnya ingat bagaimana ceritanya. Semacam saudara angkat begitu. Duduk mengepung meja adalah yang teraman bagiku yang cuma pura-pura sanggup bersosialisasi. Kurasa aku berhasil menarik simpati Bang Ian dengan menunjukkan ketertarikanku pada kabar Alfrance Berardi. Aku memang benar-benar tertarik.

Semoga benar-benar terjadi suatu hari nanti, aku naik Air Asia atau apapun, sedangkan terdengar dari pengeras suara: "This is your Captain, Alfrance Berardi speaking." Ah, keberhasilan anak, anak siapapun, selalu membuat hati terasa hangat. Kurasa dapat kukenang dengan terang-benderang betapa wajah Bang Ian menunjukkan kepuasan dan kelegaan ketika menceritakan perihal Ardi. Semoga ia menjadi anak yang tahu berbakti kepada orangtuanya, demikian juga semua sepupunya. Selebihnya, aku adalah suami si Anthi alias Kontil, si bungsu, perempuan. Begitulah posisiku di keluarga besar ini, di bawah naungan Sang Patriark Ian Syahlan Martua Nasution van Pematang Siantar.

Kurasa malam ini aku belum sepenuhnya sadar bahwa badanku masih beroperasi dalam waktu musim dingin Amsterdam. Aku masih hanya khawatir tidak bisa tidur jika bukan di rumahku sendiri, kamarku sendiri, kasurku sendiri, bantalku sendiri. Malam ini, sekitar jam sembilan, kantuk yang mengerikan menyerangku. Aku mencoba tidur di lantai beralaskan karpet tebal dari dinding ke dinding, sampai Bang Ian dan Mbak Erni sendiri menurunkan kasur-kasur agar cukup untuk semua. Tidak sampai sejam bahkan kurang dari itu, aku terbangun dan terus terjaga sampai berganti hari.

Berganti tahun, sebenarnya. Ya, aku sepenuhnya terjaga ketika pergantian tahun a la kalender Gregorian terjadi. Kulihat dari Lantai 17 itu, jauh dan dekat di kaki langit, kembang api menyemburat, meletup, berkeretak berdentam-dentam, seperti entah sudah berapa kali dalam hidupku. Demikianlah sebelum jam menunjukkan pukul dua belas tengah malam, sampai beberapa saat juga setelahnya. Tahun 2018 Masehi sudah berakhir bagiku. Tahun yang penuh berkah dan belas-kasihNya. Semoga tahun depan begitu juga, bahkan jauh lebih baik. Penghambaanku, tentu saja, karena lain dari itu sungguh-sungguh tidak terlalu penting. Allah, atas segala sesuatu, berkuasa.
 

1 comment:

Unknown said...

Duduk mengepung meja adalah yang teraman bagiku yang cuma pura-pura sanggup bersosialisasi. Berat memang, Bang. Cuma apa mau dikata.