Sunday, December 16, 2018

Salju Pertama di Amsterdam 2018


Kemarin… kau masih bersamaku… husy, koq jadi nyanyi. Kemarin ada kukatakan akan kuceritakan apa jadinya ‘kan. Nah, ini kuceritakan. Akhirnya aku benar-benar naik trem ke arah Nieuwe Sloten, tapi turun di Heemstedestraat, untuk dilanjut jalan kaki ke Jacques Veltmanstraat. Turun di Centraal kusempatkan mampir membeli munchkins isi sembilan, masih ditambah yang isi empat. Kumakan satu, tiga sisanya kugabung dengan yang sembilan, jadilah isi duabelas, tiga untuk masing-masing rasa. Suhu udara ketika itu sekitar minus dua.


Naik trem dengan membawa gitar dalam tasnya, plus tentengan munchkins ternyata cukup merepotkan. Terlebih ketika engkau harus bongkar pasang sarung tangan untuk mengecek peta gugel. Sebenarnya tidak perlu se-umek ini jika udara tidak sedingin itu. Tidak berapa jauh dari halte sampailah aku di semacam Smiley tapi untuk keluarga. Nyaman. Besarnya cukupan ‘lah. Ruang depan multifungsi digabung dengan dapur dan satu kamar mandi, dengan dua kamar tidur yang lapang-lapang. Di dalam situ tinggallah Dokter Icang sekeluarga.

Berhubung belum mulai kerja lapangan dan ini belum benar-benar etnografi, maka belum ada keharusan padaku untuk merinci pengamatanku. Hanya saja perlu dicatat di sini bahwa pallumara itu mungkin memang seharusnya bandeng, atau ikang bolu, kata orang Bugis. Jangan salmon apalagi kepalanya. Aku mau ikang bolu pallumara pada bagian perutnya. Selebihnya, seperti guna blog ini, aku akan mencatat perasaanku. Apa benar yang kurasakan. Benar-benar sulit dilukiskan. Hanya saja, aku yakin, perasaan ini, apapun itu, akan mereda.

Pamit agak cepat setelah meninggalkan gitar kesayanganku di sana, sampai rumah apa yang kukerjakan. Bukan karena tidak mau merinci, melainkan karena aku kali ini memang benar-benar lupa. Malam itu dingin, seingatku. Aku bahkan berjaket berkaus kaki, dan aku tidak bisa tidur hingga menjelang jam empat dini hari, jikapun sekadar agar melihat jatuhnya salju pertama di Amsterdam pada 2018 ini. Demikianlah, maka seperti halnya sepuluh tahun yang lalu, entri ini berjudul “Salju Pertama di Amsterdam 2018.”

Jika entri mengenai salju pertama dari sepuluh tahun lalu aduhai relijiusnya, kali ini aku tidak mau begitu; meski lamat-lamat kuingat betapaku berurai air mata ketika menulisnya dulu. Mengapa. Apa karena sama-sama membawa gitar dan batal menyanyikan lagu satu pun. Ketika itu yang kubawa gitar setengah bodi. Kali ini yang kubawa yang tiga perempat. Ketika itu belum minum obat darah tinggi. Sekarang sudah. Selebihnya, mengapa sih harus menangis. Tidakkah kalau mau menangis lebih baik sekarang ini.

…karena perasaan itu. Terkadang heran betapa di entri-entri terdahulu dapat terpikir olehku kata-kata dan kalimat-kalimat puitis, sedang kini kalimat-kalimatku dan kata-kataku tak lebih dari cericau dan cuitan tak bermakna. Baiklah. Tidak menjadi apa. Namun mereka banyak sekali, mau diapakan. Ya tidak harus diapa-apakan. Tepatnya, amit-amit jabang beibeh jangan sampai diapa-apakan. Semua biarkan seperti adanya. Doakan saja, seperti selalu dibatin kemunafikanmu. [aduhai ribet nian Bahasa Indonesia dengan awalan dan akhirannya] Tidak perlu sok minta ampun pula!

Hanya dirimu yang dapat menghentikan hujan [salju] ini. [Mengapa kurung kotak sih, bukan kurung biasa atau kurawal. Memang apa sih arti kurawal jika bukan kurawa ditambah “l”] Hidup macam apa yang akan dijalani oleh mereka, tidak bisa lain kubumbungkan harapan-harapan baik. Agar suatu hari nanti, tidak akan ada lagi kengerian, horor seperti dikenal kini. Semua damai, meski tidak perlu sampai seperti khayalan mengenai jamannya Lenina Huxley. Aku lelaki lemah, susah mulai dan rayap mati. Sudah.

No comments: