Sunday, December 30, 2018

Dibakar di Kompor, Dikecapi Karena Lapar


Mari kita tinggalkan horor itu, kesedihan itu. Bahkan tidak cukup jika sekadar digambarkan sebagai kesedihan, ini kengerian! Masih saja 'kuberusaha keluar dari kungkungan tujuh lima, agar tampak sungguhan seperti prosa. Tujuh lima sesungguhnya bukan mengungkung, justru membebaskan. Seperti jazz, ia memberdayakan otak bukan memasungnya. Nyatanya, aku tetap saja kembali kepadanya: Tujuh lima. Ini seperti beringsut-ingsut masuk kembali dalam zona nyaman. Seperti seekor siput: Bekicot. Betapa tidak dengan belaian begini, meski udara tidak lagi sesejuk biasa.


Apa yang kualami seminggu ini sungguh aneh. Rasanya hampir-hampir seperti cinta remaja, meski aku tahu betul rayapku sudah mati. Bagaimana caraku memasukkan ini semua di akal, tentu aku tidak tahu. Seperti biasa, aku tidak peduli. Seperti halnya kantuk yang dahsyat bergulung-gulung bagai ombak lautan, sebelum maghrib dan sekarang agak jauh selepas isya,’ rasa ini sungguh tiada tara. Aku tua, apa karena aku belum memulai. Aku tetap saja tua, seperti mantel hujan dijemur di pagar geser.

Serasa tiada berguna semua kebijaksanaan ketika dihadapkan pada situasi ini. Semua pakem bukan saja dilanggar, melainkan memang seakan tiada pernah maujud. Apapun yang terjadi aku akan terus berusaha: Mencoba. Ini bukan bondongan roket mewarnai merah langit malam selatan Jakarta. Ini bukan pula getaran-getaran langit-langit yang hampir meruntuhkan neon panjang. Aku tidak tahu dari mana datangnya. Aku hanya dapat berharap ini menandai berakhirnya horor dengan manis. Sampai-sampai aku tidak membutuhkan horor dan kengerian dalam bentuk apapun.

Betapatah aku terpukau melihat awal, musim semi. Bermekaran, merekah, semerbak. Belum saja aku melihat akhir. Kegelisahan. Sakit. Ada waktu-waktunya di mana kau begitu saja diselamatkan. Ada waktu-waktunya harus menunggu barang sejenak. Pada kenyataannya, semua hanya harus dijalani dan ditahankan. Laki-laki. Perempuan. Ada semua. Aku menjadi bagiannya, meski tidak seharusnya di sini. Aku tidak yakin apakah aku sanggup menyelesaikan ini, ataukah ini akan menjadi sesuatu yang cukup bernilai. Ini bukan hidangan imperialis. Ini adalah kenyataan belaka.

Sebelum memulai, sesudah mengakhirinya. Aku suka berwisata kuliner. Semua asal jangan daging hidup kucicipi. Daging olahan masih bolehlah, namun aku suka dari berbagai ragamnya. Keragaman itu yang aku suka karena khayalanku tak berbatas tak bertepi. Terlintas-lintas dalam bayangku, berkebat-kebat dalam benakku. Berangsung-angsur kuperangi horor, kengerian yang terus menyengat-nyengat sanubariku. Takkan kubiarkan. Terangguk-angguk, daripada mengguguk-guguk. Mengapa aku sampai terperangkap dalam suasana ini, entah aku tidak tahu. Ini adalah sebagian dari pura-pura. Tidak benar-benar sebetulnya, hanya seakan-akan.

Ahoi, hoi-ho-hoi, aku seperti Nano berkisah mengenai Jin dari Tanah Parsi, ragaan dari masa mudaku. Ayoh agak semangat, sedang engkau sudah bertemu Siti Kejora pagi atau petang hari lalu. Seperti itu saja. Aku semangat untuk segera kembali bekerja, meski di sini benar tidak ada polisi maupun polisi pamong praja. Siapa tahu aku benar-benar sanggup mencipta, dengan mengerahkan daya cipta. Ragaan dari sengsaranya Buru saja bisa sekuat itu, masa aku di apartemen mewah begini tidak sanggup.

Dibandingkan seminggu yang lalu, memang suasana hatiku tidak beranjak banyak. Masih ada horornya. Ah, dunia apa ini. Seminggu ini horornya diperkuat. Ah, horor mengapa begini. Kesakitan seperti dikecapi. Meminjam kecap untuk dicrotkan ke atas kompor tua. Ini ayam. Pantas aku tidak suka ayam, meski itu original. Meski baru berpuasa, ayam, mungkin karena lapar; kecap, mungkin karena bakar. Demikianlah horor, masih bagus jika demikian. Bisa jadi segera berakhir. Ayam, yang jelas berakhir. Horor, semoga tiada lagi.

No comments: