Tuesday, December 11, 2018

Syekuntum Mawar Merah, Merpati Putih


Uah, jadi seperti judul perguruan silat. Tadinya, ketika berjalan dari Kees Broekmanstraat ke halte trem Zuiderzeeweg, sempat terpikir olehku untuk menyudahi kegilaan lima dua lima. Namun, entah mengapa, sesampainya di kantor keinginan itu sirna begitu saja. Mungkin karena begitu masuk ruang flex ada Mas Ichsan dan Jeng Isdah suami istri. Hatiku jadi empuk, seperti daging dibungkus daun pepaya. Intinya, kesenian lima dua lima ini lanjoot. Tidak lanjoot hanya jika aku harus bekerja. Berkesenian ya beginilah.


Yang tetap dari awal perjalanan hari ini adalah keinginan untuk melayang-layang bersama seutas merpati putih. Merpati atau dara, begitu sempat ‘ku membatin tadi. Ah, dua-duanya sama-sama menjengkelkan. Sok imut! Apa itu damai. Aku suka [film] perang. Maksudnya, kalau terpaksa ya mau bagaimana lagi. Siapa yang menghendaki kedamaian harus siap berperang, begitu ‘kan? Pikiran[ku] memang jarang koheren. Baru bisa koheren jika kupaksa. [ada tidak sih sebenarnya awalan berupa kata ganti orang? Ini pasti bukan bentuk baku.]

Seperti begitu saja Tjiang Lexsy mengirim tautan video kuliahnya Pak Yudi Latif memperingati Widjojo Nitisastro, di mana beliau bicara mengenai keajaiban Bahasa Indonesia. Ahai, retorika! Lebih baik syair berlagu sekali, seperti Bang Haji Oma, tung keripit ahai tulang bawang. [tahunya dari Togar Tanjung] Aduhai, merpati! Berani-beraninya aku berkhayal mengenai hidup sesudah mati. Hidup dulu! Aduhai, bukan salah panca indera tentu saja, seperti yang kubatin-batin sambil menunggu datangnya Trem 26 tadi. Salah diri-rendahmu sendiri, tentu saja.

Dan begitu saja Japri menepuk pundakku, mengabarkan bahwa ia sudah secara resmi menyerahkan kertas delapan bulannya. Secara resmi?! Aku? Tidak berani berpikir apa-apa. Mengapa pula lagu temanya beberapa malam yang mempesona begini. Mengapa pula acara kuis tebak kata harus diberi nama “Ragam Pesona,” kurasa sama saja. Apakah aku penyair; aku ingin begitu, meski itu budak penyair pujangga lama. Aha, ini dia keinginanku. Aku ingin menyebut diriku sendiri penyair, atau semacam sastrawan begitu. Ilmuwan biar nanti.

Hari ini aku tidak mendapat mug yang biasa, yang bertuliskan “Sharing our resources and exercising our powers transparently and fairly, we strive for a department where we can enjoy our work, feel included and develop our creative potential to the fullest.” Aku mendapat cangkir bening sehingga aku bisa melihat wiskiku yang berwarna cemerlang keemasan. Ternyata ia tidak segelap yang kukira. Ternyata warnanya sungguh indah memukau hati. Semoga baik pula manfaatnya bagi kesehatan lahir dan batin.

Hidup tidak lain sekadar impian. Impian yang bisa indah, bisa mengerikan, karena ia impian yang berakibat; tepatnya, dapat menyebabkan hal-hal yang mengakibatkan. Mengerikan! Berlalunya cinta saja sudah sakit sekali ditanggungkan, terlebih berlalunya hidup yang sia-sia. Setua ini, aku sudah benar-benar lupa seperti apa rasanya cinta remaja. Terkadang aku masih merasakan sesuatu sih, yang mungkin mirip dengan gejolaknya cinta remaja; namun untuk hal-hal yang sama-sekali berbeda. Semoga saja yang kurasakan itu adalah yang sebenarnya, sebenar-benarnya. Semoga.

Bang Andhika bagaimana, sudah merasakannya? Mas Ari bagaimana? Apapun itu, semoga saja jauh lebih baik daripada Mas Ari harus menerima oleh-oleh dariku yang saru bentuknya; seperti yang mungkin akan menimpa Mas Narno, Mas Gitos, Mas Gondrong dan semua anggota klub sarapan, yang sepertinya tidak pernah benar-benar menerimaku. Namun mereka semua menghilang dari pandangan, karena aku hanya punya mata-mata untukmu. Ya, kamu. Siapa lagi. Aku punyanya cuma kamu. Segala puji hanya bagiNya Tuhan seru sekalian alam.

No comments: