Sunday, July 22, 2018

Amsterdam Sudah Cukup Bagiku, Stockholm


Meski terpisah ribuan mil, pagi ini aku bersama teh Bapak, Sosro Heritage Jasmine Tea. Entah sejak kapan Bapak selalu ngunjuk teh ini. Mungkin semenjak kutinggal ke Magelang. Aku tidak ingat pasti. Teh ini sepanjang ingatanku selalu bersama kami sambil menikmati nasi uduk Mpok Mar. Beberapa bulan yang lalu aku terpisah hanya belasan mil dan sekitar dua jam naik go-car dari Bapak. Kini entah apa yang memisahkan kami dengan Mpok Mar. Di manapun tidak akan kutemui.

Nasi Uduk Piking yang tidak anying. Pokoknya bukan nu aing, Ma Jolie Fille.
Mungkin hanya sebentuk nisan bertuliskan namanya. Itu pun kemungkinan besar aku tidak akan mengenali. Hanya doa yang dapat kukirimkan padanya, semoga Allah menghapus dosa-dosanya, melipat-gandakan pahalanya, memasukkannya ke dalam surgaNya. Amin. Betapa Mpok Mar telah membuat pagi-pagiku bahagia dengan nasi uduknya yang sederhana itu. Langkah yang ringan menuju ke beranda sederhana tempat ia berjualan. Mengantri bersama orang-orang sederhana sesama pelanggannya. Langkah kembali pulang yang bertambah riang saja karena segera akan menyantap sederhananya hidangan bersama Bapak.

Pagi ini, meski bersama teh Bapak, aku tidak bersama Bapak, apalagi nasi uduk Mpok Mar. Mungkin ini sesuatu yang harus kulatih agar terbiasa. Aku justru bersama dengan kari entah-entah, roti macan berisi salad kentang dengan kilasan saus kari, keju murah yang hambar dan abon yang mantap dari Muhammad Ilham Rivanny. Beberapa tahun ke depan ini aku harus terbiasa dengan yang seperti ini. Insya Allah, nanti tidak akan sesepi ini. Siapa tahu ke depannya bersama Hadi.

Bersama dengan siapa aku, tidak lagi bersama dengan siapa aku, tidak banyak berarti. Jika pagi ini aku bersama Pakde Frank Mills, itu sama saja dengan tidak mungkinnya aku bersama lagi dengan Pakde Binto maupun Pakde Lentu. Insya Allah, tidak lama lagi Adjie bisa bersama lagi dengan Pakde Boni. Begitu saja terus. Seperti halnya ada ketukan dua perdua, sedang yang lainnya entah tiga atau empat perempat, suasana hati seperti apa yang diciptakannya, semua tidak banyak berarti.

Akankah dalam hidupku ini aku sampai di Stockholm bahkan Trondheim, tidak terlalu kupikirkan. Hanya saja, sekiranya sampai juga, hanya kepadaMu hamba memohon badan yang sehat nyaman dan hati yang ringan bahagia, sebagaimana di Amsterdam ini. Cinta memang seperti itu, meski aku tidak seberapa pandai memainkan piano. Pakde Frank Mills hampir selalu memainkan piano pada nada-nada tertingginya. Seperti halnya makan, semakin jarang kurasakan nikmatnya terharu-biru nyanyianku sendiri, seperti di masa-masa yang lebih muda. Seperti itu saja.

Ketika kau tersenyum, meski mungkin bukan untukku, aku tersenyum juga. Mungkin kukulum senyumku, atau kubiarkan lebar. Entah aku seorang ilmuwan atau pemberontak, atau sekadar orang gajian yang membeli nasi uduk padang di pagi hari dan nasi uduk malam di malam hari, tidak menjadi masalah. Akan halnya telah kuucapkan selamat berpisah kepada Parioh Sty, dan apakah itu berarti ia akan berganti menjadi semacam Splash, apa bedanya. Hanya saja, jika itu dapat membuat Cantik senang, akan kulakukan.

Tidur lima jam semalam, telanjang bulat, berselimut tipis saja, membuatku sarapan sambil berjaket. Je t’aime moi non plus, sementara matahari pagi menembuskan kuat-kuat sinarnya melalui celah-celah tirai, di pagi musim panas di Amsterdam ini. Entah berapa lama lagi ia dapat kusebut tepi hutan bambu dan tepi Cikumpa, entah apa yang menungguku di pesisir Teluk Jakarta atau kantor-kantor pemerintahan, mungkin juga Darmaga, Bogor. Semua tinggal dijalani saja, seperti Opa Paul Mauriat menarikan jari-jarinya pada tuts-tuts piano.

No comments: