Thursday, June 15, 2006

Kambing Aneka-warna Berkepala-batu dst.


Kenapa harus selalu ada identifikasi dengan sesuatu, dengan Romo Semar misalnya? Baru saja terlintas dalam pikiranku. Romo Semar yang ketika mudanya menelan gunung sehingga di masa tua seperti itu bentuknya. Mengapa Romo Semar menelan gunung di masa mudanya? Apakah karena kesombongannya? Lalu mengapa Togog Tejomantri adanya di Ramayana, menjadi abdi Kumbokarno Sang Raksasa yang Hening Hatinya - namun sedih pada akhirnya? Dan Batara Guru, mengapa dia ada di Kahyangan?

Apa pentingnya mereka semua bagiku, bagi desaku, bagi kalaku, bagi patraku? Kenapa harus selalu ada aku? Dunia ini, mengapa? Ya Allah Gusti kawula, inilah sahaya hamba yang hina lagi tak tahu diuntung. Sahaya hamba yang busuk hati dan kelakuan, yang berjalan pongah di atas bumi Gusti Allah, merusak diri dan persekitarannya. Ingin rasanya hamba menangis menyesali diri, tapi keras hati ini, Ya Gusti Penguasa Segala...

Sungguh sangat ingin kuakhiri entry ini, tapi bagaimana dengan komitmen tiga paragraf; sepertinya sudah sering kulanggar. Kemarin setelah Bang Fred berangkat untuk bertemu dengan Bang Safri, sekitar jam empatbelas tigapuluh aku pergi meninggalkan Cimanggis. Pamit kepada Mbak Imed untuk mencari udara segar. Di sinilah Kambing Aneka-warna Berkepala-batu dan Sekitarnya dimulai, membahana berdentam-dentam di setiap bilik hatiku.

Hiruk-pikuk riuh-rendah, segala sesuatu yang sungguh kubenci namun kurindukan - hanya untuk berakhir pada kemafhuman bahwa senyatanya memang aku benci semua itu. Kebodohan yang selalu kuulang-ulang. Pertaruhan mahal atas reputasiku sebagai penguasa tujuh samudera dengan hati yang bilik-biliknya tak pernah cukup menampung rasia dunia. Tentu saja aku selalu kalah. Aku tidak bakat berjudi, dan hidupku tidak mengundi nasib.

Patriark! Tegakkan bahumu! Jangan biarkan melorot menekan perutmu yang semakin tumpah ruah, menurut saja pada gaya tarik bumi. Telan semua rasa sakit, itu baik bagimu! Telan dan jangan mengeluh! Bukan ramuan akar-akaran dan dedaunan, tetapi tanah murni. Tanah yang berusaha keras untuk terus menampung berak semua pendurhaka dan semua sahaya dan semua yang ada di antaranya.

Kau Patriark harus kokoh, sekokoh bumi yang menyangga gunung dan menampung lembah - bahkan lebih kokoh lagi. Jangan sekali pun kau membatin: Aku tidak pernah berjanji untuk melakukan itu. Wanti-wanti jangan sekali-kali kau sedurhaka itu, karena durhakamu tidak mungkin dilakukan atas kesilapan, apalagi kebodohan - Kau Patriark. Ingin rasanya hamba menangis menyesali diri, tapi keras hati ini, Ya Gusti Pencipta Segala Iba...

Telah tersedia bagimu Cinta. Bukan cinta, melainkan Cinta. Kau Patriark. Hukum Pidana B, Hukum Acara Perdata A, Hukum Pajak B, Hukum Perdata C, Tanah Sebagai Jaminan Utang A-, Agama Islam B+,... tinggal Kekuasaan Kehakiman Ditinjau dari Segi HTN masih I, nanti Selasa, 20 Juni 2006.

No comments: