Thursday, August 13, 2020

Masuk Angin Pada Masa Pandemi Korona


Apa pantas sebelum Maghrib menyumpal telinga dengan suara yang dihasilkan kombo jez tiga potong berporoskan piano, bas betot dan dramset. Ditingkahi gerimis menderas, sedang jari-jari malas mengetiki. Sedang belahan jiwamu duabelas ribu kilometer jauhnya darimu. Apa pantas mengucek-ucek mata, tidak karena mengantuk tetapi karena gatal. Apa pantas mengetiki, sedang separagraf pun belum maju sudah di minggu kedua Agustus. Sampai setua apa ‘kan terus begini, sedang dunia terus merekah membelia. Ranum menebar harum, berkata-kata tanpa daya.


‘Tak bermakna. Aku hanya dapat membayangkannya, karena aku tidak mencium apa-apa. Ibu-ibu belum mandi dengan daster rombengnya, mengantri beli nasi uduk ‘Mpok Mar atau Mas Aris. Tidak ada baunya, atau setidaknya, tidak tercium olehku. Aku mengetiki begini, telunjukku menelusur lekuk liku. Sempat ragu haruskah ada tanda hubung di antara lekuk dan liku. Bisa juga menghidu, meski harus periksa kamus dulu. Kesakitanku apa tiada yang peduli seperti kecantikan dedek bagi Aa’. Berkelebat Radar AURI, nasi gorengnya.

Lelaki menggapai. Kepala botaknya penuh berisi tidak ada apa-apa. Kemudaannya di setentang kantor lama walikota Jakarta Selatan, tidak ingin ia mengingat-ingatnya. Jemari lentiknya mencoba meraih ingatan mengenai belahan jiwa yang dipercayainya sendiri. Di Pondok Indah Mall ketika hanya ada satu itu, dihancurkannya puntung-puntung rokok. Diteguknya kopi. Mungkin ia akan melangkah gontai atau digagah-gagahkan. Ia ternyata tidak pernah punya tempat untuk pulang, kecuali kepada belahan jiwa yang diyakininya sendiri. Tidak banyak yang dipercaya olehnya, sangat sedikit.

Dentingan piano, kesakitannya, kesepian teman setianya. Ini adalah masa-masa kegentingan, ketika tiada lagi tertinggal baginya untuk diyakini. “Mengapa harus memilih-milih ungkapan, apa engkau pemilih.” Rasa sakit itu kembali terasa, namun segera hilang setelah disadarinya tiada pun ‘kan peduli. Kepada siapa dapat berbagi, hanya pada dentingan piano dan rintik gerimis menderas ini. Dicurahkannya semua seakan dapat membasahi. Seperti rintik gerimis, demikianlah dentingan piano. “Mungkin gara-gara ini aku masuk angin. Kebasahan dentingan piano,” batinnya pada diri sendiri.

Simbal medium dipukul satu-satu begini, tidak diseruduk seperti basdram dengan dua pedal. Bas tidak dibetot tapi ditowel-towel begini, tidak hendak dikursifkan. Ada juga penjual hidangan Cina sederhana, capcay, bakmi dan nasi goreng, dengan S-72 ditambah sedikit jalan kaki. Rasa sehabis mandi segar sekali. Dengan air hangat, entah dengan uang sendiri. Bisa juga masakan Padang, entah asam padeh, entah yang lainnya. Bahkan Nasi Bu Gendut asin, terakhir anak perempuannya yang gendut juga. Ada juga anaknya Pendi.

Sudah lama tidak berdoa di sini, biarkan. Ini tempat kesakitan. Menguatkan atau melemahkan tidak relevan, di sinilah tempat kesakitan-kesakitan dirasakan. Apakah di depan peradilan semu bersama Adrianus Eryan atau Hari Prasetiyo di Perpus HAN. Apa guna menyebut nama-nama seperti menyapa sepoinya angin lalu, lapangan tersembunyi di senja hari dilalui masa muda yang tiada berarti. Buku Kafe tiada ketinggalan apalagi Burger and King dan Sari Momo, kuucapkan selamat tinggal, selamat berpisah, entah kapan namun sampai nanti.

Tidak pula hendak kucicipi semua, biar saja selintas dua mengganggu lamunan. Masih adakah kata yang baru sekali kuketikkan, aku menyembunyikan. Tidak ada lagi kisah yang mengalun bagai aliran, hanya ada rima yang ditarikan. Tiada tempat yang ingin kukenang, kecuali ruangan dua kali lima meteran ini biar ‘kuabadikan, di mana kugoreskan kesakitan-kesakitan pada kulit telanjang sebagai tatakan. Apa yang terbaca sebagai racauan, igauan, 'ndlemingan menyemburatkan sejuta kenangan akan sakit-sakitnya yang tak tertahankan; apatah lagi suatu raungan.

No comments: