Wednesday, April 15, 2020

Amy Badak dan Ikan Sheldon, Akhirnya...


Ini terlintas begitu saja, ketika kemarin sore, menjelang terbenamnya matahari, aku melintasi Beneluxbaan tepat di atas terowongan Uilenstede. Namun kini, menjelang terbitnya matahari, semua itu seakan menguap begitu saja, gara-gara Mie Yummy yang tidak ada yumi-yuminya. Hei, jangan terlalu keras padanya. Bukan salahnya jika ia tidak se-yummey nasi kuning Padang bertabur mie goreng kampung, masih dengan telur semur, tahu pedas, bahkan terkadang perkedel kentangnya sekali. Jangan pula bandingkan dengan nasi uduk Bandung bertabur bihun goreng, bertelurkan balado, bertahu semur, masih dengan kerupuk disiram dobel sambel tomat dan kacang. Itulah semua pilihan di pagi hari yang ceria.

Kini, cukuplah bila aku menolak dibohongi Chuck, Bill dan Stevie. Kurasa aku hanya kesepian gara-gara mengurung diri secara sukarela. Halah, tidak perlu ada virus korona baru pun aku akan dengan senang hati mengurung diri. Hanya saja memang pemandangan layaknya berganti-ganti, meninggalkan kesan yang berbeda-beda pula, yang terkadang mengundang senyum dikulum di bibir mengembang di hati. Aku yang sering ketagihan dirundung romansa ini, kecanduan diharu-biru romantika ini, bisa apa. Kutahankan, hanya itu yang dapat 'kulakukan.

Ini kudapati kemarin juga, 'kurasa setelah matahari terbenam, ketika aku mendekati apartemenku dari arah selatan. Aku yang sentimentil, melankolis ini. Sungguh, aku tidak pada dasarnya mesum. Hanya saja, terkadang apapun yang membuncah harus dikeluarkan. Selain itu, mungkin fisikku pada dasarnya memang lemah, mudah sakit. Bungkruh. Gabesan. Maka aku perlu cara untuk dari waktu ke waktu meningkatkan daya tahan tubuh, menaikkan ambang batas rasa sakit, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor jasmaniah maupun, terutama, batiniah.

Sidang Pembaca yang Budiman tentu sudah mafhum betapa seringnya 'kuberkeluh-kesah mengenai romansa, berkenaan romantika. Aku tidak kemalu-maluan mengakuinya. Namun, jika diminta menyebut kisah cinta, Natalie-Byron 'lah yang pertama menjelang dalam ingatan. Haruskah kutambah satu lagi. Aku pun tiada kemaluan mengakui, ya, kutambah satu lagi: Amy-Sheldon. Bagaimana dengan kisah cintaku sendiri. Sungguh indah. Kisah surga. Takkan terlupa sampai akhir masa. Aku suka memulai ini dari suatu penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam via Kuala Lumpur.

Jelasnya, aku mencintainya, menyayanginya dengan teramat sangat karena ia masih keciiil banget. Belum 'ngerti apa-apa. Kesian. Ini lebih baik daripada aku memulai kalimat dengan "yang jelas." Meski ada mirip-miripnya dengan Stringfellow Hawk, aku tidak tinggi dan tidak pernah benar-benar kurus, meski tidak juga gembleb. Ah, kabut itu kembali. Nyatanya memang aku baru tidur sekitar empat jam. Memang enak bangun pagi-pagi begini, namun kalau badan tidak segar mau apa dikata. Entah kapan menyerah dan menarik lagi kasur beserta selimutnya sekali.

Mana piano berdenting melagukan jazz tengah malam. Aku jelas bukan Si Tua Slote yang mencoba merayu tunangan orang, meski bekas pacar sendiri, dengan segelas whisky lurus dan nyanyian pagi mengenai sinar rembulan. (lho) Terlebih kini, tidak tersisa padaku apapun yang dapat membuatku merayu siapapun. Cukup baiklah itu jika aku berfungsi sekadar menunaikan janji yang aduhai mahal sekali. Malam pertamaku, toh, tidak dihabiskan di sebuah suite mewah di Lisbon, sedang pempek kapal selamku ditambat, bukan digoreng sampai setengah hangus begitu.

Tidak pula akan kuabadikan pempek lenjer direbus dengan feromon atau rambut kaki yang tidak dicukur. Hari-hari ini cukup kujalani saja, sampai pada ketika 'kutemui lagi Mas Aris dan Ibu yang potongannya perkasa itu, membungkus nasi pesananku dengan cekatan atau justru menumpahkan kuah semur encer. Tidak akan ada yang istimewa pada hari itu. Tidak bagiku, terlebih bagi mereka. Semua sekadar hari kerja. Setiap hari sekadar bertahan hidup, entah berapa lama lagi. Ini adalah paragraf terakhir, wajar saja kabut itu mengerukup. Entah apa 'kan terjadi. Entah.

No comments: