Friday, May 01, 2020

Ladang Gudut tentang Malam Tipu. Sendu


Mengapa harus takut trisom. Biarkan saja. Ramadhan sudah masuk hari kedelapan, seperti yang kutakutkan. Lebih dari kurang tidur. Lebih dari sakit gigi, karena toh berangsur 'kan reda. Disebabkan susu kedelai dikotori sedikit kopi, atau apalah itu. Biar jadi pelajaran berharga. Pagi yang mendung berhujan ini ditingkah daya otak dan keletuk jariku di atas papan-kunci. Terbata-bata seperti kalimatku, tiada lancar meluncur, karena tiada cinta di hatiku. Terlebih di sisiku, pangkuanku. Kukurangi sampai setengahnya agar syahdu. Iaitu ternyata sekadar minuman kaldu.


Bukan rincinya lukisan benar yang kurindu, melainkan apa yang dilukiskannya itu. Apa yang dapat kulukiskan kini, sekadar pemenjaraan diri. Namun baiklah 'kucoba. Sudah dua malam ini 'kusakiti diri sendiri, tersurat dan tersirat. Malam ini, akibatnya, aku baru terlelap, mungkin, setelah lewat jam satu dini hari. Mungkin, karena sepertinya aku tidak benar-benar terlelap. Latihan seminggu membuatku terbangun ketika tarhim berkumandang jam dua empat lima. Mekanis saja bagai robot aku menuju dapur menyiapkan sahur. Dua kali sahur ini memang istimewa.

Betapa 'kubiarkan diriku diharu-biru kisah cinta konyol yang kuulang-ulang dengan setianya, seperti apapun yang kuulang-ulang dalam hidupku. Berbuka dengan roti gandum istimewa berisi dua lapis keju, kesalahan urutan isi membuat saus kari menetes-netes mengotori lantai. Dengan segelas besar teh tuan kelabu ditemani segelas kecil kaldu-minum isi-ulang yang mahal sekali untuk ukuran kaldu-minum, masih ditambah Indomie goreng berbungkus jingga tua. Uah, kacau-balau makanku. Sahurnya nasi tumis buncis tahu jamur surimi ditingkah chai.

Lantas susu kedelai dikotori sedikit kopi! Mengapa menyalahkannya, aku saja yang terburu-buru ingin menggantinya dengan jus leci. Akankah yang setengah gelas itu dibuang, masih dua belas jam lagi. Rasa ngilu ini menjalar-jalar, kini tersisa di bawah gigi seri. Baru saja 'kukata begitu, tiba-tiba denyutan tajam yang singkat terasa lagi. Ini seperti ketika kutinggalkan kelas Hukum Lingkungan begitu saja pada Savit awal 2018 untuk ngacir ke poli gigi RS Bunda Margonda, hanya untuk mendapati di sore hari ia hanya mengurus beugel. Apapun itu, Alhamdulillah, jauh reda.

Tiada lagi doa, tiada lagi kalimat-kalimat baik lagi suci, masakan kucampur dengan berbagai rincian cabul yang bertebaran di sini. Lantas mengapa menebari, 'ku tak tahu pasti. Aku tidak suka jika aku tengah begini. 'Kuinginkan kalimat-kalimat yang deras mengaliri, fasih menerangi, yang kudapat justru puisi. Dalam swapenjara ini, yang tersisa memang kisah cinta konyol yang kubiarkan merundung hati. Hei, aku bahkan tidak butuh kisah-kisah kepahlawanan. Aku hanya ingin hanyut dalam kisah cinta yang bahkan kekonyolannya aku tak peduli. Sungguh.

Apalagi sampai terbahak-bahak. Maka dari itu, betapa istimewa dua kali sahur ini, seperti roti dengan isi dua keju melapisi. Keterjangkauan tidak menjadi masalah di sini. Belas kasihan aku tidak punya untuk dibagi. Untukku sendiri. Aku tidak ingin menyebut-nyebut atau berkata-kata, terlebih menyumpahi. Ini terlalu murah, terlalu picisan untuk disebut tragedi, bahkan sekadar makna tersembunyi. Tidak, 'Gar, tidak ada yang kusembunyikan di sini. Semua tergelar di depan mata, di terang cuaca, sebagaimana kauhadapi. Terserah bagaimana kaumaknai, 'ku tak peduli.

Kembali pada kisah cinta tadi. Wajar saja jika orangtua, terlebih seorang Ibu, merasa anaknya adalah mahluk teristimewa yang diciptakanNya bagi seantero alam ciptaan ini. Pada kenyataannya, semua saja, termasuk aku, termasuk kau, tidak lebih dari konsumen yang terus saja mengonsumsi, seperti semua saja manusia di muka bumi. Ya, seperti kisah cinta konyol ini. Aduh, mengapa tuts 'y' tepat bersebelahan dengan 't', 'sih. Aku 'sih tidak keberatan menjadi biasa begini, terlebih biasa bercinta, meski sekadar kisah, meski konyol, apa salahnya sehingga terus berima begini.

Selamat Hari Rubuh! Ayo Shalat Qabliyyah Shubuh!

No comments: