Monday, August 17, 2020

Entri Perdana tentang Renungan Kemerdekaan


Di hari kemerdekaan ini, aku mengetiki karena tadi aku bermimpi. Mimpi yang sedih sekali. Akan tetapi, tak hendak pula ‘kuceritakan di sini. Cukuplah ‘kukatakan, bukannya mengarang mengenai… ah, sempat terhenti karena gugling sebentar. Sudahlah ‘kuselesaikan saja dahulu entri ini sembari ditingkahi jez musim panas, eh, kebelet. Abis aa’ balik lagi mengetiki sementara piano umek dicolek-colek. Mendampingiku secangkir susu kedelai dikotori kopi dicampur sedikit susu cokelat segar, dipanasi dengan magnetron agak satu setengah menit. Ya, begitulah.


Jadi, mimpiku tadi sebelum bangun adalah mengenai… nasi uduk, tapi entah nasi uduk siapa itu. Suasananya pagi di Kompleks Yado, Radio Dalam, seperti abis subuh begitu. Bahkan ketika sekelebat melihatnya tadi sempat berdesir. Aduhsai bagaimana jika begini. Semalam sempat hujan, meski hujan di sini tidak pernah lebat seperti di Depok dan sekitarnya. Hanya anginnya saja yang heboh, dan lampu luar tetangga sempat disko. Selebihnya, jika tidak keluar aku tidak tahu kalau hujan semalam, setengah sembilanan.

Maka ‘kuhujankanlah. ‘Kuguruh-gunturkan mengampar-ampar di kejauhan, sedang susu kedelai campur sudah tidak hangat. Pada hari kemerdekaan Indonesia ini, langit Amstelveen mendung pada suhu duapuluh satu derajat selsius. Sesuatu yang ‘kudengar sejak kecil dari ramalan yang kemudian menjadi prakiraan cuaca, dari Televisi Republik Indonesia. Namun baru ‘kuketahui manfaatnya sekitar dua puluhan tahun kemudian. Bersama Hadi nonton penjelajah daratan dimodelkan, menurut Hadi dikartunkan. Setelah sebelumnya bajak laut kedua, karena pertamanya sudah berhumbalangan di Pasifik Selatan. Sejak dulu.

Jadi, aku tidak bermimpi mengenai kemerdekaan, sedang membayangkan berjalan-jalan mengitari Taman Mini saja terasa melelahkan. Aku tidak peduli sepanjang masih bisa berfungsi. Masih ada gairahku jika membayangkan Gerobak Goyang, meski aku pasti mengernyit jika di dalamnya ada kompor apatah lagi kulkas. Tak butuh aku itu semua. Kompor biar di warteg atau restoran mie ayam saja. Kulkas di warung-warung rokok pinggir jalan juga ada. Bahkan pom bensin pun lengkap dengan kamar mandi, lima ribuan, dan mushalanya.

Setelah mencapai tiga ratus ini, aku bukan Leonidas, apalagi yang dimainkan Gerard Butler. Terlebih Hugh Jackman dan Michael Fassbender, yang dari Holiwud aja jijik apalagi yang lokal. Pagi ini aku sarapan nasi dengan lauk pauknya, ada sayur bikinanku, lantas perkedel kentang dan ayam piri-piri. Ini patut dicatat, karena tiada rencana padaku untuk mengisi hari-hari dengan piri-piri. Hari-hariku di tepian Cikumpa atau di mana saja ada keteduhan, agar ‘kuparkirkan Gerobak Goyang di bawahnya. Aduhsai betapa cerianya!

Sampai alinea keenam ini masih saja aku diganggu oleh mimpi buruk. Mimpi macam apa itu. Mimpi yang menyambar-nyambar, membuat dada berdesir berkesiuran seperti bocah ingusan. Rumah kosong penuh berdebu membuat gatal. Rumah kosong berserakan daster dan kutang. Rumah kosong ‘kuserakkan deterjen disiram air untuk pleset-plesetan. Begini inilah jika sudah sampai alinea keenam. Masih teringat tonjolan-tonjolan, sedikit saja. Aku marah. Meradang. Laksanakan pemurnian, begitu ‘kuserukan. ‘Ndilalah, Gundo, Reza, Herman ikut-ikutan. Padahal aku sendiri, ajaranku sendiri, ‘kumurnikan.

Ataukah semacam tifus ‘kujilatkan, setelah bubur kacang ijo ketan hitam dimuntahkan. Membawa kesakitan, ngeri membayangkan jilatan. Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dilaksanakan, ini semua kegilaan. Jika tidak segera mulai dengan kontrak politik maka berjingkat di bibir jurang kesia-siaan, sampai ganti halaman. Sedang Dipa Nugraha “Aidit” memanggil John Gunadi Sawan, tentu tidak terima pak Agun Bakiran. Masih banyak lagi kengerian, entah mengapa dengannya aku berlumuran. Seperti anak badak satu bercula riang bermandi kubangan.

No comments: