Saturday, May 16, 2020

Hikayat Cimone Gama Satu Nomor Dua Enam


Ada apa 14 November 1988. Ada dua hati mempercayai satu pikiran. Sedang apa aku ketika itu. Tentunya sudah ada PR atau mungkin malah hari ketika aku pergi ke Tangerang kota, membeli buku ajar Bahasa Inggris. 'Kutulis di balik sampulnya "This is my book. I am buying this book is in Pasar Anyar." Tentu saja "Tolol!" yang kudapat, keras sekali. Sampai aku berusaha keras, sampai hari ini, agar tidak begitu lagi. Dan Kambing tidak boleh dicerca dan dipukuli. Ah, mungkin memang banyak cara menuju... apa. Ke mana. Empat puluh juta. Cercaan nista penuh hina.


Itu tidak menghentikanku menulis "vaqueing" di papan tulis kelas IB. Aku sudah tidak peduli mana lebih nista, dipukuli Masna Husna dan Mahadi Nasution tanpa alasan yang jelas, dicakari Maulana meski ibunya menghidangku dengan satu loyang roti tawar lengkap dengan kolak duriannya sekali. Di sini tiba-tiba aku terhenti. Adakah benar ingin kuabadikan masa-masa ini. Apanya. Sampai hari ini hidupku memang hanya mengenai itu saja. Tidakkah hidup memang hanya mengenai itu. Lalu aku bagaimana. 'Tak 'ngapa, sepanjang tidak merepotkan siapapun.

Mungkin ini akan membawa pada Gerobak Goyang, jika Gerobak Belajar terdengar angkuhnya. Biarkan aku mengembara. Hahaha apa iya. Belum dicoba, siapa tahu nyaman. Apa bisa aku mandi tanpa air panas. Haruskah aku membawa kompor dan tabung gasnya sekali di Gerobak. Kurasa banyak mesjid yang pelatarannya lapang, atau setidaknya ada parkirannya. Pom bensin atau kantor polisi pun tak mengapa. Berarti harus lengkap dong surat-surat. Mungkin itu waktunya aku kembali mandi dengan air dingin, sebagaimana biasa 'kulakukan di WC kampus.

Nanti ada gitar di Gerobak, Insya Allah, lengkap dengan ampli Marfil-nya sekali. Mungkin ada mic-nya juga. Bisa jadi aku parkir di tempat agak ramai, meletakkan entah casing gitar dengan sedikit uang kertas pemancing, lantas menyanyikan lagu-laguku. Bapak-bapak gendut botak menyanyikan lagu-lagu menye, masakan tidak ada yang memberi barang selembar dua, sekadar pembeli nasi warteg atau somay. Sembarangan, bagaimana pekerjaanmu. Cantik juga tidak akan membiarkanmu menggelandang begitu. Ia pasti ingin 'kutidur di tepi Cikumpa tiap malam.

Kau hanya harus hidup, dan mencoba terus begitu sampai waktu tertentu. Aku juga tahu segala khayalku mengenai apapun yang bergoyang dan belajar tak berdaya. Bisa saja sampai waktuku dan begitu saja, "Apa yang menyebabkan Tuhanku mengampuniku dan menjadikanku termasuk yang dimuliakan?" (QS. 36: 27) Uah, untuk bisa begini seorang lelaki harus diinjak-injak satu kampung sampai mejret, sampai keluar itu usus dari lubang dubur. Apatah lagi aku. Aku hanya bisa mengulang-ulangnya, semoga semakin sering, semoga tidak sampai mejret, metoto dari dubur.

...dan semua itu memang dirintis dari Jl. Gama I No.26, di bekas kamar praktek almarhum dr. Hardi Leman. Ya, tepat di situ ketika suatu hari kusadari, lantas tidak pernah berhenti sekejap pun sampai di sini, kecuali, ya, kecuali mungkin setahun antara Agustus 1994 sampai Agustus 1995. Sisanya, tidak pernah berhenti! Mungkin pernah juga antara Oktober 2002 sampai sekitar awal atau pertengahan 2003, sisanya tidak pernah berhenti bahkan bertambah. Nista! [terduduk, lungkrah, terguguk] Bagaimana mau tidak mejret, metoto jika begini. Kasihan Bapak dan Ibu...

Nah, berani kau membacanya? Bukan masalah berani. Nehi! Gabung PDI-P karena satu-satunya yang membela minoritas, jih! [a la Hamid Arif] Aku tidak suka minoritas. Aku sukanya satu resimen, brigade, divisi, pasukan, tentara, gabungan tentara kalau perlu, maka aku tidak pernah tertarik sniper atau apapun yang mengendap-endap begitu. Aku suka yang menutup cakrawala, baik berderap di depan sekali seorang diri, atau ditelan lautan kepulan debu di tengah-tengahnya. Ah, aku tidak tahu apa yang kukatakan ini. Aku tidak takut, cuma nehi saja; dan itulah alasannya.

No comments: