Tuesday, November 10, 2020

Renungan Hari Pahlawan 2020: Kang Kopid


Aku menulisi ketika sedang apa, sih. Ketika sekonyong-konyong aku kembali ke kamar mandi Graha 10, di akhir 1991 atau awal 1992, sedang aku berusaha menyanyikan Dari Rusia dengan Cinta, mencoba membidik nada yang tepat. Bukan. Bukan karena Bu Eko pernah menugaskanku menjadi solis Tonpara, melainkan karena memang semenjak pindah kembali ke Radio Dalam aku rajin berlatih membidik nada lagu-lagu Matt Monro, yang menjadikan wawasan vokalku Monrois. Nah, begitulah saja hidupku. Merasakan kembali masa lalu di situasi dan kondisi kini...


...yang bisa jadi nyaman, bisa jadi muram. Yah, mulai deh kebiasaan buruk merepotkan diri sendiri. Biarlah. Tidak sekadar sastra, ini seni rupa. Ini instalasi (halahmadrid!) Ini lagi, seorang anak perempuan menyanyikan lagu bapaknya, yang menemani hari-hariku entah di kamar mandi Gama I No. 26 atau atap asbesnya yang sambung-menyambung. Disambung dengan Mencintaimu Adalah Hal yang Tepat, yang tidak kuingat dengan pasti apakah sejak Gama I No. 26 itu atau baru setahun menjelang Magelang. Ini jelas bukan renungan mengenai kepahlawananku sendiri.

Bukan pula kepahlawanan Daniel Daly, karena aku lupa 'kuberi judul apa ia dulu. Hanya saja terkenang pernah dinyanyikan di sebuah warung minum di Maastricht. Jika masa lalu tak berdaya maka berdayakan sekarangmu! Iya, tapi 'kan tidak mungkin sekarang juga, sudah malam begini. Beginilah jadinya jika aku bercakap-cakap dengan diriku sendiri. Ah, betapa dahulu bisa sampai sesak berurai air mata jika Pasang Surut begini, meski sudah tadi di kamar mandi. Hahaha begini caranya meretas ruang dan waktu. Mesin waktu, aduhai! Begini ini caranya, menjelajahnya!

Sangkal keberadaannya! Betapa di suatu siang hatiku diharu-biru oleh Tante Connie. Aku, bocah remaja kencur 13 tahun, dan itu 30 tahun yang lalu. Apakah aku menjadi insiyur kapal terbang, tentu tidak. Dari dulu pun tidak. Aku juga tidak habis pikir mengapa bisa sampai begini. Akankah 'cita-cita'-ku tercapai. Aku tahu, aku tidak pernah dihitung oleh Bu Ismu, meski aku tidak tahu apa hebatnya Rudy Saladin dariku. Asaptaga, dia punya halaman Wikipedia. Aduhai, orang-orang macam apa kalian ini. Jangan-jangan ada gadis yang Menyandarkan Kepala pada Bahu kalian.

Meski itu di ruang BPM lama dalam keadaan senista-nistanya, dengan tas selempang UI berisikan Bondet di dalamnya, tidak ada gadis yang menyandarkan kepala pada bahuku. Meski ruang bersama Asrama UI dipenuhi harum sabun gadis-gadis baru mandi, dengan rambut-rambut mereka yang basah, Aku Ingin Melakukannya Denganmu. Ya, hanya kamu. Aku selalu percaya, sudah disiapkan satu untukku asal aku menjalani hidupku dengan benar. Apa artinya ruang dan waktu, kecuali sebuah studio seluas 26 m2 dengan sewa EUR 650-an sebulan. Tidak ada!

Semata-mata karena kasih-sayang Bapak dan Ibu. Sisanya adalah barang kotor dan bau yang bagusnya dipendam saja dalam-dalam. Seperti apapun bentuknya, mau Matt Monro apa Marilyn Monroe. Lantas Berjingkrak-jingkrak di Salju, berlalu begitu saja, meski sangat berkesan, membekas, tergurat dalam pada ingatan, pada kesadaran. Makna, 'Gar, tidak berdaya. Jangan kau bergantung padanya. Ingkari ketergantunganmu pada makna. Mungkinkah bunyi, atau bentuk. Apapun itu selain makna. Makna tak berdaya. Hanya satu impian semata. Makna hanya ilusi! Hahaha.

Cinta, Cinta, Cinta. Di mana kau sembunyikan makna. Tepat di pelupuk matamu. Di situlah tempat persembunyian terbaik. Begitulah caraku mengatakannya, dengan cara Latin, betapa aku sangat mencintaimu. Woi, ingat! Sekarang. Itu satu-satunya cara meretas ruang dan waktu, dengan berada pada kekinianmu, sekarangmu. Terlebih setelah Angin Sepoi-sepoi Musim Panas sudah tidak bertiup lagi, digantikan musim gugur berbadai, jangan lagi mencari makna. Bersetialah, bertahanlah pada sekarangmu, sekuatmu. Jika sudah tidak kuat, silakan melanglang waktu. Sesukamu.

No comments: