Monday, December 21, 2020

Tadinya Sebuah Nama, Namun 'Tak Jadi


Ya, sebuah nama yang gagah, sesuai dengan orangnya. Namun sekarang aku jadi bertanya-tanya mengenai yang memberi nama. Mengerikan sekali nasib yang menimpanya. Aku mendengarkan kaset nada-nada sok ngejez terbaik dari 37 tahun yang lalu. Adakah itu nasi uduk yang dijual oleh seseorang yang anaknya masuk ke dalam dasternya, lalu si anak berkata, "tai, tai, tai." Astaga sudah dari jaman itu. Aku masih ingat rasanya. Aduhai. Aku tidak peduli dengan dunia ini, sudah tegas dikatakanNya. 'Kujalani sedapat-dapatnya, dari hari ke hari. Yang penting-penting saja.


Ini lagi rendisi Tante Dionne mengenai Hari Kita Akan Datang. Ya rendisinya, ya kenangannya. Aku tidak mau mengenang-ngenang, karena lengan bawah kananku sedang aneh. Aku memanaskan minuman havermut rasa coklat terlebih dulu, setelah sebelumnya semug besar teh hitam dengan rempah-rempah musim dingin. Sementara aku diganggu atau justru asyik dengan semesta paralel, dunia mungkin sedang mempraktikkan yang senyatanya, das sein. Akankah aku dihukum karena pikiranku mempemainkanku, das sollen. Antara ought dan is, ada juga.

Semata-mata reaksi kimia. Semata-mata KesepianNya. Begini memang caranya. Kronologi adalah ilusiNya sekaligus IlusiNya, atau dengan kata-kata lain, Sang Kala. Terombang-ambing di antara aku adalah dualitas. aku adalah genap dan kegenapan. aku, siapapun di alam ciptaan ini, tidak ganjil, tidak ada yang unik, karena Unik adalah Hanya. Lama-lama menjengkelkan maka 'kuganti dengan yang ada Seandainya Engkau Berada dalam Pelukanku Lagi, yang mengharu-biru banyak anak bocah sebayaku. Haruskah 'kumembenci diri sendiri, pasti banyak lainnya.

Robek di arah jam satu, tiga, lima, tujuh, sebelas, hahaha. Ini 'sih kena petasan ciplik, sedang Si Ciplik tidak henti-hentinya memaki. Mengapa. Tidak. Sungguh, aku tidak menertawakannya atau nasib yang menimpanya. Aku menertawakan deskripsi itu sendiri. Nyatanya belum 'kuganti juga gara-gara Sergio Mendez, meski ingin sekali 'kumenoyor kesokcerdikan pilihan-pilihannya. Oh, aku bisa rampak begini. Atas izinNya, segalanya akan indah pada waktunya. Aku tidak pernah merobek apapun, dan tidak pernah ingin, seperti 'ku 'tak pernah ingin reebok, etc.

Aku memang tidak harus peduli. Aku hanya harus menjalani sampai selesai. Sudah begitu saja. Akan halnya aku kembali ke suatu siang pada suatu rombong rokok di depan gardu listrik, sampai digantikan oleh anaknya masih di situ juga, tidak pernah terjadi di alam nyata. Aku bicara praktik padahal aku orang yang paling tidak praktis. Meski harus 'kusebut teras Oom Karyadi dan kol banda. Aku tidak keberatan dan tidak punya preferensi. Sampai hari ini selalu saja kebatan dan kebitan, tidak pernah lebih, tidak pernah kurang dari itu. Akan berakhir, itu pasti. Bersabarlah.

Akhirnya aku membayangkan diriku berakhir di GerobakgoyanG, mungkin tidak. Mungkin aku berhasil mencari pertolongan. Namun buat apa. Yang penting adalah segala sesuatu sebelum berakhir itu. Antara disayangi dan disia-siakan sudah sehari-hari. Yang mana aku tidak pernah akan tahu, karena tidak penting juga. Hanya saja, membayangkan GerobakgoyanG sungguh menyenangkan, atau mungkin tinggal itukah kesenangan. Sebuah ruang belajar yang permai mungkin tidak akan pernah kudapati. Bahkan gardu belajar sudah tidak... apa. Entahlah. Lupa.

Kekecilannya. Antara posisi duduk dan ukuran huruf, 'kumulai lagi di paragraf terakhirnya. Entah mengapa aku kembali ke sini, setelah hampir lima belas tahun. Waktu yang 'kuklaim 'kuhabiskan bersama nelayan. Mungkin benar, dalam khayalku. Semoga Allah menutup aibku, mengampuniku, memaafkanku. Paragraf terakhir ini 'kutambahkan ketika badanku terasa meriang disko, gara-gara mandi. Seharusnya tidak boleh, namun aku melemparkan diri ke sekitar sepuluh tahun yang lalu. Masa lalu hanya indah karena aku berhasil melaluinya dengan selamat. Sudah.

No comments: