Tuesday, December 01, 2020

Aku Kembali ke Jalan Panjang yang Berliku


...dan aku lupa di mana harus berhenti. Atau di mana harus mulai. Semuanya telah tiada. Sawah-sawah itu. Bangau tongtong itu. Tanah merah berdebu itu. Semua dari akhir 1980-an. Semua dari 30-an tahun yang lalu. Dan rambutnya yang keriting kemerahan. Tidak ada artinya bagiku itu semua, ketika sebuah rumah kosong di bilangan Jalan Jakarta menghancurkanku. Ah, tidak juga, memang sudah hancur dari sananya. Sejak di Kemayoran sampai di Amsterdam hahaha. Ini lebih dari sekadar ketololan. Ini kengerian. Sungguh semoga ini semua segera berakhir.


Entah kapan mulainya, musim panas lalu aku sering mendengarkan jez kethuwil-kethuwil nduliti tuts piano. Barusan aku jengkel padanya dan menggantinya dengan... Nada-nada Sokngejez, dimulai dengan Merayakan. Jengkel juga sih, tapi malas pula untuk menggantinya. Oh, itu waktu-waktu yang mengerikan. Bahkan sampai sekarang pun masih mengerikan. Mulainya entah kapan, menghentikannya entah bagaimana. Setelah Cinta Pergi adalah waktu-waktu ketika Jalan Panjang Berliku telah digantikan Perumahan Harapan Kita. Mengapa aku harus melalui semua.

Dan lampu bohlam yang dikerobongi rol bekas tisu gulung, digunting pada beberapa tempat agar muat masuk bohlam ke dalamnya. Remang-remang jadinya, sejuk juga udara seingatku. Entah musim penghujan tahun berapa. Akhirnya, aku tidak akan mengerang. Tempat tidurku di atas, hampir sejajar dengan erang-erang asli. Karena kami tidur di tempat bekas praktek dr. Hardi Leman, yang menurut Ibu masih suka mengaduk-aduk minuman tengah malam. Betapa mengerikannya. Bahkan anjing suka melolong di Enge datang nyamuk pu hilang. Khayal belaka semua. 

Iaitu Dina dan Maureen, atau buah-buahan menggelantung ketika menyapu halaman di pagi hari. Toh, aku lebih sering telatnya. Meski Herman sudah memanggil-manggil mengajak berangkat bersama, aku justru baru bangun. Misteri Tebing Menyala boleh beli di Kisamaun, seingatku buru-buru pulang langsung mencret. Bersama Pak Tuek ketika itu. Kau Membuatku Tersenyum Kembali. Siapa, Yuli binti Markus atau John Kotelawala, atau jalangkung di rumah kosong. Semoga tidak ada lagi yang mengalami apa yang kualami, yang masih harus kualami baru saja.

Cocok ini menemani suasana setelah hari mulai beranjak malam. Programa Dua menayangkan kalau tidak Square One ya Valerie. Lebih malam lagi ada Supercarrier dan Fun House. Aku tidak ingat apakah pada saat itu masih ada Balki atau Gus Witherspoon. Yang jelas ada Bravestarr dan Mandy Smith yang sudah tidak sabar menunggu waktu bertemu denganku. Ada juga suatu malam ketika sepasang mata mencorong memandangku dari dalam gupet. Dingin, seingatku. Apakah di lantai. Ah, biar 'kucatat di sini. Rah Band - Clouds Across the Moon. Ngejez apanya.

Akankah 'kusesali selamanya, betapa aku, anak Bapak Ibuku, menjadi begini. Sesuatu yang 'kurintis sejak di Kemayoran, lanjut di Kebayoran, menjadi di Cimone, mengerikan di Kebayoran, Magelang, Surabaya. Aku tidak mau mengerang. Tidak lagi penting mengapa mulai. Jauh lebih penting bagaimana mengakhiri. Terkadang rasanya seperti disambar-sambar, berkelebat berkesiuran di dada. Entah sudah lebih dari setengah kujalani atau justru tinggal sebentar lagi. Aku yang pura-pura alim padahal kehijauan ini. Tidak. Aku anak Bapak Ibuku. Itu saja. Tidak lebih.

Malam ini awal Desember, berhujan di Amsterdam Utara. Tidak banyak yang dapat 'kuceritakan mengenai perihalku di sini. Aku justru menghamburkan kepingan-kepingan diriku, serpihan-serpihan ingatan yang tidak hendak pula kususun menjadi utuh kembali. Ingatan-ingatan yang tidak henti-hentinya mengganggu, seperti ketika Patti memintaku untuk mengatakan padanya, aku mencintainya. Selalu saja aku kembali ke jalan panjang yang berliku, setelah setua ini. Semoga ke depan, entah panjang atau bagaimana pun itu, tidak lagi berliku. Lempang saja adanya.

No comments: