Monday, June 29, 2020

Um Saudade de Maria Dolorosa del Mar


Dalam dua puluh hari ini begitu banyak, sekaligus tidak ada apa-apa yang terjadi. Begitulah paradoks tidak saja terjadi dalam blog ini, tetapi terhadap seluruh hidupku. Ini lagi Slim Whitman ngeselin banget caranya bilang bo'ong dosa. Untunglah tak jauh di bawahnya ada bossas pagi. Memulai ini semua, dari awal sekali, dengan ini, kau yakin. Tentu tidak. Terlebih jika sarapanmu Indomie rasa kaldu udang dikasih nasi. Hei, ini bossas mengapa umek begini. Ah, dilanjut dengan satu nomer yang sanggup membuat kepala manggut-manggut nikmat, andaikan bisa 'ngopi.


Pekerjaan apapun tidak mungkin ada yang santai. Kalau santai bukan bekerja namanya. Santai atau tidak, tentu masih ada saja yang bisa dikeluhkan. Maka buanglah pandangmu jauh ke ufuk, sejauh ia berada. Beristirahatlah sejenak di sana. Sebentar saja. Sekejap. Tolehkan lagi kepalamu lurus ke hadapan, dan hadapilah apapun yang ada di situ. Apa lagi yang kauminta. Masih bagus tidak ada yang menyeretmu ke mana-mana, membuatmu bekerja, agar layak kau dapatkan makanmu berikutnya. Ya, meski itu dari istrimu sendiri, yang kau sebut "Boss Lady."

Aku masih ingat ketika Maria Dolorosa biasa bersandar di sana. Tiang-tiangnya yang menjulang, aparelhamento, cordame-nya yang dipenuhi para tripulações bergelantungan melakukan perawatan, memperbaiki apa yang harus diperbaiki. Kau sebut mereka pirata, aduhai! Disiplin dan efisiensi mereka boleh diadu dengan marinhas manapun, dan aku... Aku mungkin seorang cavalheiro decadente, tapi lihat enseada-ku ini. Uah, se-disiplin dan se-efisien pangkalan manapun. Imaculada! Lihat deretan palem itu, berbaris. Hei, bahkan di sini pun ada o terreno de exercicios!

Memang cuma Maria Dolorosa itu galleon-ku, tapi Laura dan Renata adalah brigantine! Bukan schooner apalagi sloop, tapi brigantine tulen! Ini semua berkat o carpinteiro naval espanhol yang kuculik agak beberapa tahun sebelumnya. Cozinha-nya bahkan menghasilkan torta de mamão y banana terbaik, mungkin di seluruh Karibia ini. Uah, aku rasanya seperti anak kecil lagi umur sepuluh tahunan. Betapa mudah hidup ketika itu. Apa masalahku kecuali menunggu deraan dan cubitan berikutnya dari Papa dan Mama. Aku memang nakal waktu kecil, memang harus dipukul begitu.

Sudah sejauh ini, lebih dari setengah, sudah repot-repot begini, masa berhenti. Setelah ini bisa saja kau menghadiahi diri sendiri dengan seporsi kibbeling. Java Kuliner tidak usah 'lah. Kau 'kan memang harus memasak hari ini, jadi lebih baik masak sendiri saja. Alhamdulillah tadi malam tidur nyenyak tujuh jam non-stop. Jika sekarang terasa mengantuk, biasa itu, karena masih melakukan yang entah-entah. Nanti jika sudah beneran Insya Allah tidak mengantuk lagi. Padahal cuaca hari ini aduhai khas betul Belanda, mendung berangin, sedang kasur dan selimut hanya di sebelah.

Uah, mungkin sedikit coklat gelap hangat dapat membantu. Ternyata tinggal seteguk. Tahukah kau lantas apa, adanya nasi sama teri. Oke 'lah kalo begitu'! Mengapa hari-hari di ketinggian lantai empat Gedung D terasa betapa nyamannya, di akhir 2007 itu. Memang saat itu kau lebih muda, lebih sehat, dan segalanya itu. Namun, di atas semuanya, itu semata karena kau melampauinya dengan selamat sampai sekarang ini, maka kau bisa mengenang-ngenangnya. Begitulah cara waktu menguasaimu, dan begitulah cara pikiran menipumu. Adamu sekarang adalah ini, kini, di sini.

Inilah aku. Kini. Di sini. Menghadapi VivoBook. Di sebaliknya masih Bapak dan Ibu memandangku dari tepi fjord di Trondheim di awal 2007. Namun di sebelahnya ada Cantik. Di depannya ada stiker-stiker kalimat tauhid dan ayat kursi dari Farid dan Togar. Menengok ke kiri terlihatlah dedaunan condong searah tiupan angin yang lumayan kerasnya. Menengok ke kanan rumahnya Hadi, belum lagi kubayar untuk dua bulan terakhirnya ini. Insya Allah. September nanti pemandanganku beda lagi, yang dapat kuketahui pratinjaunya jika saja main, entah kapan, ke Japri.

No comments: