Tuesday, May 12, 2020

Air, Penyair, Pemimpi. Kau, Aku, Kayu


Di manakah penyair, pemimpi? Akulah! Sebenarnya yang kaucari itu hubungan antara jiwa, antara hati. Sama, aku pun mencari yang seperti itu. Sudahkah kutemui. Sudahkah kautemui. Aku belum berani mengatakannya sekarang. Ya, selama masih begini saja kerjaku, tidak tahu malu namanya jika kukatakan sekarang. Insya Allah, kelak akan kukatakan, namun sekarang belum. Kau, sudah. Akankah kau menggamit lenganku untuk mengajak berdansa rumba, bisa saja. Akankah kau mengumbar rasamu padaku, aku suka begitu. Ya, aku 'kan melakukannya.


Tiada rincian, tiada lukisan, karena ini hubungan antara jiwa, antara hati;  dan hubungan semacam ini tak terlukiskan. Ini adalah berjalin berkelindannya salamander raksasa betina dan jantan, kau dan aku. Tidak. Takkan ada yang memaksa kita memancurkan susu merica. Hanya kau dan aku, dan sejuk jernihnya air sungai membasuh cinta kita. Kau lepaskan telurmu ke dalamnya, kubuahi mereka. Akulah yang kena menjaganya. Tidak tiga, tidak lima, tidak lima belas, tetapi empat ratus, menetas semua. Mereka berburu bersama, bersaudara, jika tiba waktunya.

Menarilah denganku. Kau sungguh menarik hati, berkasih-kasihanlah denganku. Kau membuatku mabuk kepayang, ayolah mari bersamaku. Kurasa bibir-bibir kita 'kan terus berpagut bahkan setelah musik berakhir. Ketika hidup sehari-hari adalah perlombaan untuk saling mencurah rasa hati antara dua sejoli, yang hanya berhenti ketika mati dan mati. Lihatlah, betapa aku mencintaimu. Sesederhana sentuhan bibir dengan bibir, tanpa lidah yang saling julur, tanpa ludah yang saling lumas. Hanya sesentuh cukup untuk mendeteksi brownies yang kaumakan sebagai pencuci mulut.

Air, aku memberahikanmu. Betapa bulir-bulirmu menetes, mengaliri botak kepalaku, meluncuri dahiku, hidung bangirku. Ketika melintasi bibir kukecap cintamu hanya padaku, sebagaimana kau terlahir hanya untukku. Kau air, aku kayumu. Aku bersyair mengenai mimpi-mimpimu, kau bermimpi mengenai syair-syairku. Kita tidak butuh apapun dari dunia seisinya. Aku hidup dari mimpi-mimpimu. Kau hidup dari syair-syairku. Tubuh-tubuh kita tidak butuh sehelai benang pun. Tubuhmu menyelimutiku, tubuhku menyelimutimu, santun merunduk malu-malu.

Aku cukup untukmu, kau memadai bagiku. Aku kayu nangka yang keras, atau kayu jambu yang getas, terserah padamu. Kau melumuri, melumasiku agar mulus masukku padamu. Hembusan nafasmu nyanyian merdu bagiku. Teratur, kadang terengah, sampai memburu menderu bagai derum timpani menandai klimaks. Rambutmu bosah-basih karenanya, kugenggam tanganmu. Naik turun dadamu bahkan perutmu. Sesungging, seulas senyummu. Kebahagiaanmu kebahagiaanku. Hidupku bagimu, tanpamu tiada artiku. 'Ku tercipta hanya untukmu, oh, kau mengairiku.

Kita tidak perlu lonceng atau penanda apapun untuk mengingatkan waktu berpelukan. Semua waktu untuk bersentuhan, saling merapatkan. Dadamu pada dadaku, bahkan rambut-rambut halus dan kasar pada keduanya berkelindan. Di dapur, di kamar tidur, di muka umum, tanpa pengecualian. Dunia mendesah membumbungkan madah pujaan bagi cinta berpendirian. Tiada kini, tiada kemudian. Satu yang tidak akan pernah ketinggalan, senyuman. Sesungging, sekuluman, seringai konyol, tawa lebar berkekalan. Kau lucu, aku jinak, dan kita anak segala jaman.

Sementara ini, beginilah adanya aku di sini. Terkurung seorang diri. Sepi memang sahabatku sejati, seakan ari-ari yang terlahir menyertai. Aku bersyair, aku bermimpi, kau mencari. Sudahkah kautemukan, akankah kutemukan di sini, di hidup yang ini atau nanti. Bilakah 'kan berakhir, mimpi buruk ini, kutahankan, kujalani dari hari ke hari, dari terang, gelap ke terang lagi. Syairku tiada yang peduli, mimpi-mimpiku ditertawai. Biar saja begini, asalkan kau di sana terus mendamba syair dan mimpi yang selalu kutebar pada langit malam nan sunyi. Kau putik akulah serbuk sari.

No comments: