Saturday, August 08, 2020

Gila Itu Sekadar Mengulang-ulang yang Diketahui


Kalau mau mengetiki itu mulainya di pengolah kata, jangan buka blognya dulu. Sudah berapa kali coba ‘kukatakan yang demikian ini. Selalu saja lupa. Sabtu pagi menjelang tengah hari ini, setelah dibuat pusing oleh Hadi, aku merasa ingin bersantai. Jadi tidak apalah mengetiki. Buat apa pula disedihkan. Tidak ada yang patut disedihkan, apakah itu biaya perumahan atau Laksono Hari Wiwoho. Jika yang ada Watyutink dengan Ahmad Kanedi, ya disyukuri saja. Itu saja sudah berlebih dari adanya.
Mang Imas begitu saja mengingatkan kenangan nontok dinosaurus sampek ayan dari duabelas tahun lalu. Aku begitu saja bersyukur dan minta ampun, sedang telinga kanan dan kiri disumpal jez alus secara stereo begini. Apa rasanya seperti di kafe atau di kamar sendiri yang Insya Allah akan segera ditinggalkan. Syukur masih ada kegairahan atau kebungahan. Menjalani ini, di tengah pandemi atau di mana pun, hati harus bungah, bergairah. Gairah yang secukupnya saja bagi lelaki botak gendut paruh-baya.

Syukurlah dahulu sempat punya pilihan. Mang Imas mau tidur, terserah, yang penting saya kepingin yang seger-seger. Lantas Mas Winarno Adi Gunawan melompat bangun dari tidurnya, “jangan 'gitu dong, Mas,” dari masa yang lebih muda. Sekitar satu setengah tahun lalu Mbak Erna masih membuatkan banyak-banyak Indomie goreng untuk anak-anak dan keponakan-keponakannya. Hari ini Mbak Erna mendahului kami semua. Sekitar setahun lalu kami sempat menjenguknya, sempat melihat hasil USG juga. Begitulah hidup di dunia. Apa hendak dikata.

Ini apakah entri sedih atau murungnya, nyatanya baru masuk hari kedua dari prakiraan sembilan hari gelombang panas. Minggu pertama Agustus, masih tiga mingguan lagi untuk suasana baru. Bergairah, seperti ada yang diharap-harapkan. Ini tentu jauh, jauh, jauh lebih nyaman daripada hari-hari dalam kem kerja-paksa. Jangankan itu, ini bahkan jauh lebih nyaman dari ruang karantina penyakit menular. Cukup sebagai pengingat betapa keple-nya aku, maka diam saja. Ya, menurut Takwa penting, maka itu saja alasannya. Tidak lebih.

Kata Hadi harus ada api. Aku, Insya Allah, air, bahkan udara saja cukup. Katanya ada orang yang bisa bertahan hidup hanya dengan bernafas. Ini memang menarik hatiku. Namun, selama masih harus menulis, aku masih butuh makan dan suasana hati yang nyaman. Tidak sehat, kata Mbak dokter Lula. Baik, akan ‘kuusahakan. Semua sekadarnya, seperti makanku nasi berlauk makaroni dan kentang. Mengetiki ditenagai jez alus pada volume enam persen, a la kadarnya, ketukan pada rangka drum senarnya.

Masih ada memang desakan-desakan, rasa seperti berdesir, jika lebih kuat lagi maka menyambar di dada. Namun hidup memenjara begini tidak banyak yang bisa dilihat maupun didengar. Tidak tercium kecuali bau yang beberapa detik saja, karena memang itu bauku sendiri. Akankah kuhasilkan semacam Perjuanganku begitu, impaknya. ‘Gak usah 'ngimpi yang enggak-enggak. Terus saja menulis sambil berserah diri hanya kepadaNya. Untuk KebesaranNya, Belas-kasihNya pada yang kusayangi. Itu pun tidak perlu karena Ia ‘lah Maha Pengasih lagi Penyayang.

Ini hari Sabtu. Memang menurut Pak Dian tidak perlu disebut hari, bulan, tahun, bagaimana dengan jam. Aku menyebutnya hari ini. Apa cukup istirahatku dengan mengetiki begini. Apa setelah ini sanggup menambahi. ‘Nambah semangat! Begitu kata teman-teman Junsu yang semuanya sudah kena wajib militer. Terompet berpengedam ini membuatku merasa diterpa sepoi-sepoi angin laut yang sejuk. Entah di mana, Bangka, Bali, atau Teluk Jakarta, atau bahkan di tepi Buiten-Ij, di mana-mana sama saja. Sama-sama bumi Allahu Akbar!

No comments: