Friday, December 20, 2013

Ya Udah Gapapa Emang Udah Nasib


Sebenarnya tafsir Matt Monro terhadap A Man and a Woman ini agak... sulit dimengerti, sama seperti tafsirnya terhadap Blue Spanish Eyes. Terlepas darinya, Matt Monro sangat istimewa dalam hatiku. Ia hadir agak belakangan, meski aku kenal lagu-lagunya sejak lama. Portrait of My Love, contohnya. Aku ingat mendengarnya sekitar sore hari di halaman belakang rumah Cimone. Namun, baru setelah aku kelas tiga SMP, setelah pindah kembali ke Radio Dalam, ada kaset Matt Monro milik Mas Yanto. Aku ingat ia menulis di sampulnya: "Matt Monro is my favourite singer." dan ditandatanganinya. Aku pun menulis di bawahnya: "Me, too." kalau tidak salah kutandatangani juga. Semenjak itulah, kaset itu menjadi salah satu hartaku yang tak ternilai harganya. Kubawa ke mana pun pergi, kujaga baik-baik. Magelang, Asrama, Kukusan, Srengseng, Pancoran. Di Pancoran itulah, sekitar 1999, kurasa hilangnya ia. Seingatku terakhir dipinjam Pak Bendot Bimas Nurcahya. Sampai lama sekali aku hidup menderita tanpa Matt Monro. Baru sekitar 2003 aku bersama lagi dengannya, dari CD-CD-nya Gus Dut Abdul Aziz Wahid, sampai hari ini --dan kutambah beberapa lagi dari Internet.

Mesjid Qoryatussalam Sani, sekitar awal 2013, ketika jalannya belum diaspal
Hidup ini pendek, begitu kata Bang Andhika tadi. Pendek dan dipenuhi kesia-siaan, seperti sekarang aku malah menulis-nulis gak jelas sedangkan belum shalat Isya'. Mungkin aku akan memahami hidup ini ketika aku berhenti mencoba memahaminya. Ketika aku berhenti memikirkannya dan sekadar menjalankannya. Ini, kurasa, adalah kata-kata konyol, bukan bijak. Bagaimana bisa menjalani hidup tanpa memikirkannya? Bagaimana bisa memikirkan hidup tanpa menjalaninya? Kulakukan dua-duanya ganti-berganti, mungkin setidaknya sudah sepuluh tahun terakhir ini. Pun demikian, sekali lagi, hidup ini pendek. Jika nasibku sama dengan almarhum Abangku Safri Nugraha, aku tinggal punya sepuluh tahun lagi. Punya? Oh, betapa terbatasnya bahasa. Betapa sempitnya pikiran manusia. Betapa pendeknya hidup manusia! Dapat kulihat, di tengah kepenatannya lahir-batin, Bang Andhika bisa sedikit berbinar jika berbicara mengenai Ali. Tiap kali ia bercerita mengenai Ali, ingin sekali aku berteriak: Anakku diberikan pada orang lain! Orang lain tetap memiliki anak-anaknya! Aku tidak punya anak! Anak-anakku mati semua! Ketika Mang Untus bercerita mengenai Jasmine, Hadi tentang Billy, Dul tentang Farel, ulu hatiku terasa tegang, dadaku mencelos.

Takwa pernah berkata padaku, anak membuat kita merasa muda kembali. Ya, harus kuakui, aku memang kehabisan alasan, kehabisan pasal, untuk merasa muda. Permainan komputer tidak. Makanan, apalagi, tidak. Habis. Aku bahkan selalu tidak punya ide untuk merasa senang. Akan tetapi, ya, seperti biasa, tentu saja, aku bukan yang paling menderita di dunia ini. Lagipula dunia ini memang tempatnya dhukka, dunia inilah samsara dan tak mungkinlah keluar darinya selama masih awidya. Teh-ku sudah habis pula. Secangkir teh Goalpara. Bagaimana dengan secangkir lagi, kali ini Earl Gray? Bolehlah dicoba. Tidak pakai gula. Ah, sudah kuseduh. [Sruput] Hmmm... cita rasa bergamotnya sedap betul. Biar kukatakan di sini apa rencanaku jika semua ini selesai, Semester Gasal 2013-2014 ini. Akan kutunaikan janjiku pada keparat-keparat Paradua itu. Akan kutata-letak dengan kertas ukuran B5, dengan ukuran huruf agak besar, Constantia 11 pt mungkin. Mungkin jika sudah ada bentuk nyatanya mereka akan kepingin ikut-ikutan, kampret-kampret kekanak-kanakan ini. Lagipula, aku akan senang juga. Akan kuusulkan agar Lily Bertha Kartika menjadi editornya, sekiranya ia mau. Jadi tidak eksklusif. Penerbitnya pun BP FHUI. Semoga nasib rencanaku ini tidak sama dengan rencanaku tahun lalu shalat di Mesjid Qoryatussalam. Aamiin.

No comments: