Tuesday, December 17, 2013

André Villas-Boas Dicepat, Dikarungi (Pun)


Sudah cukup lama aku tidak menulis setatus di Pesbuk, [...sedangkan begitu saja Francis Goya ber-Again, Puji Tuhan!] sedangkan begitu saja kutulis tadi ketika mengawas ujian Hukum Lingkungan, mengenai dunianya Rintis Yanto, Eddy Stevens dan Imam Turidi. Huh, duniaku adalah dunia Again, terserah mau Again-nya Francis Goya, Doris Day atau Nat King Cole aku tak peduli. Dunia yang begitu tak peduli, dunia yang terlalu nyata dan sama sekali tidak imajinatif. Tidak romantis. Tidak sentimentil. Tidak melankolis. Aku ini setangkai bunga rumput gajah bengkak. Aku butuh siraman hujan yang lembut membelai, bukan guyuran hujan deras lebat membadai. Siapa yang mau memberiku itu, sedang begitu saja seorang tukang batu mengencingiku? Aku, bersimbah kencing tukang batu. Semoga saja ia seorang anak yang berbakti pada orangtuanya.

Ayu Utami, Idolanya Entahsiapa
Dan kini adalah Melodia, lembut membelai. Tidak ada yang suka membelai-belaiku. Tidak ada! Sebutuh apapun aku akan belaian lembut, tidak ada yang suka melakukannya padaku. Bahkan Soekarno yang sedahsyat itu saja tak kumaafkan karena sembarangan menulis-nulis surat cinta kepada begitu banyak perempuan. [...maafkan aku, Bung. Semoga dilapangkan kiranya kuburmu] Apalagi Goenawan Mohamad. Aku dari pertama sudah tidak pernah suka padanya. Aku tidak suka Catatan Pinggir-nya. Aku tidak suka Tempo-nya. Aku tidak suka Ayu Utami-nya. Aku tidak suka "Seks, Sastra, Kita"-nya. Pokoknya, aku tidak suka! Dulu ada dua, kalau tidak salah beli buku obralan begitu, yang dari seri itu... Aku lupa seri apa. Satunya lagi Umar Kayam. Seni, Tradisi, Masyarakat. Aku lebih suka yang belakangan ini. Ya, aku memang agak suka Umar Kayam. Sri Sumarah, Para Priyayi, aku suka... Sedih. Adik-adik, anak-anakku, kudoakan kalian tidak pernah mengalami apa yang kualami. Apa yang tengah kualami kini, kesedihan ini. Semua melankoli ini.

Seperti selalu saja, Bulan Biru. Pembaca setia pasti pernah dengar bulan biru. (halah) Sekarang, tukang jualan banyak yang memanggilku Oom. Jengkelku terhadapnya setengah dari kejengkelan dipanggil Boss. Lalu kenapa aku harus jengkel? Oom 'kan artinya "paman," dan tidakkah sangat mengilhami ketika kubaca bahwa Karol Wojtyla suka jika dirinya dipanggil "Paman"? Seperti "Lik" dalam bahasa Jawa begitu... [Hmm... Monalisa, Monalisa, anak yang manis ha ha ha begitulah Sopuyan pernah menyanyikannya] Aku adalah paman bagi mereka, anak-anakku, kemenakan-kemenakanku. Kepadaku dititipkan oleh orangtua-orangtua mereka, agar bocah-bocah ini kudongengi [dongeng?!] tentang entah apa-apa... Hu hu hu... [atau heh heh heh?] Aku cuma setangkai bunga rumput gajah bengkak yang dikencingi tukang batu. Ya Allah, betapa besar karuniaMu, kasih-sayangMu pada hamba yang hina-dina ini... Ampunilah hamba. Beginilah kehendakMu atas hamba. Aku pandai cingcong

...dan hanya itu kepandaianku.

No comments: