Thursday, December 19, 2013

Suatu Renungan Lewat Tengah Malam


Kupu Briseis. Biasa.
...dan suatu judul yang --sungguh luar biasa-- sangat biasa sekali. Seperti judul di blog-blog kebanyakan, yang ditulis oleh juga orang-orang kebanyakan. Lihatlah, bahkan Ki Macan kini enggan berbicara denganku. Menampakkan batang hidungnya saja ia sudah tidak sudi lagi. Kini hanya ada aku seorang diri, dan, kurasa, aku belum pernah merasa sesendiri ini di sini, di blog ini. Terlebih ketika aku memulai entri ini dengan menghina blog kebanyakan yang ditulis oleh orang kebanyakan, makin terasa betapa sendirinya aku, sudah lewat tengah malam begini. Kurasa, lagi, jangan-jangan Kemacangondrongan inilah harapan terakhirku. Harapan akan apa? Harapan yang tiada lain adalah panjangnya angan. Ketika berturut-turut dihancurkan dengan mudah peradabanku, sesungguhnya itulah aku sendiri yang hancur --meski karenanya sebuah presentasi selesai diterjemahkan.

Tidak bisa lain harus kuakui juga, seandainya aku sedikit lebih bersama dari ini, barang tentu aku tidak menulis-nulis seperti ini. Aku menulis karena aku sendiri. Hai, adakah di antara kalian di sana membaca ini? Adakah kalian sudi menemani? Aku sendiri. Aku... kesepian. Aku kesepian dalam dunia yang kuciptakan di sekelilingku. Aku sudah tidak mengenali diriku sendiri. Sungguh. Ya, memang aku lebay, tapi kali ini aku bersungguh-sungguh. [pernahkah sebetulnya aku tidak sungguh-sungguh?] Tidak! Jika mencinta, aku sungguh-sungguh. Jika mencinta, aku selamanya. Jika kuberikan hatiku, aku sepenuhnya. Cinta tidak mungkin seutuhnya, selalu, untuk selamanya jika tidak pada SATU SAJA perempuan; dan aku lebih suka kesepian begini sambil menunggu Istriku Cantik. Aku... Istriku sedang menjalani detoksifikasi. Ia hanya makan buah sepanjang hari ini. Celana-celananya sudah tidak muat, katanya. Sekarang ia tertidur. Tadi, ia mengeluh pusing. Tadi, ia ingin dibelikan kacang. Kubelikan, tapi ia sudah tertidur sekarang.

Ngomong-ngomong, aku baru terima uang. Seratus lima puluh ribu Rupiah. Tadi sore. Sudah. Begitu saja. Tidak senang, tidak pula sedih. Apa karena sedikit? Itu bisa kujawab yakin: Tidak! Apapun itu, 'kuyakin, jika masih bisa dibeli dengan uang, tidak akan membuatku senang apalagi bahagia... dan cinta tidak bisa dibeli. Mengerikan sekali orang-orang yang merasa bisa membeli cinta, yang merasa cintanya dapat dibeli, yang cintanya ada harganya! Sudahlah, aku memang seorang helpless romantic. Aku memang sentimentil, melankolik. Itulah benar dan itulah saja yang membuatku tertarik pada hukum adat... atau lebih tepatnya... Bidang hukum mana lagi yang dapat mengakomodasi seseorang yang tidak bisa menahan diri untuk berpikiran romantis, yang diharu-biru oleh tragedi-tragedi ciptaannya sendiri? Sungguh aku merasa tidak berguna. Apa gunaku? Ha ha ha orang mungkin tercenung memikirkan apa hubungannya romantis dengan hukum adat. Jika masih tidak tahu juga, tanyalah padaku. Dengan begitu aku tahu, kau membaca blog-ku.

Oh iya, biar aktual kontroversial, baiknya kuabadikan di sini kejadian tadi siang Rabu, 18 Desember 2013 di Ruang Rapat Guru Besar FHUI, Depok sekitar jam 13.00 sampai 15.00, yaitu Pemilihan Ketua Bidang Studi (Bidstu) Hukum-hukum Keperdataan dan wakil Bidstu di Senat Akademik Fakultas (SAF). Dari 39 (tigapuluh sembilan) anggota Bidstu, --dan hebatnya aku adalah anggota penuh, yang berarti seorang pengajar tetap hehehe-- 27 (duapuluh tujuh) orang hadir, sedangkan 8 (enam) orang menitipkan atau "menguasakan" suaranya kepada yang hadir. Dengan demikian rapat memutuskan bahwa kuorum sudah tercapai. Aku tidak punya catatan mengenai siapa-siapa saja yang hadir, tetapi dapat kusampaikan di sini bahwa Mbak Melly dan Bu Susi menitipkan suaranya pada Bu Surini, Pak Noko, Ditha dan Teddy (the nerve of them) pada Mbak Endah, Bang Fred dan Bang Kurnia pada Bang Idon dan Pak Huda pada Mbak Yetty.

Demikianlah maka pertama-tama dituliskan pada secarik kertas nama-nama yang diusulkan untuk menjadi Ketua. Setelah dihitung, maka Prof. Rosa mendapatkan 18 suara, Pak Huda 9, Prof. Agus 3, Bu Myra 2, sedangkan Bang Idon, Bang Edmon dan Sopuyan masing-masing mendapatkan 1 suara. Jelaslah maka Prof. Rosa kemudian didapuk menjadi Ketua Bidstu Keperdataan yang baru menggantikan Bu Surini. Prof. Rosa kemudian meminta Mbak Yeni menjadi Sekretaris dan beliau menerima. Pemilihan wakil di SAF juga menggunakan secarik kertas, tetapi kali ini yang ditulis dua nama. Ada sedikit insiden karena kertas yang terkumpul 36 carik, akan tetapi semua sepakat meneruskan perhitungan suara. Hasilnya sebagai berikut. Bang Edmon 15, Bu Us 12, Bang Idon 10, Bu Myra 9, Prof. Agus dan Mbak Yetty masing-masing 6, Pak Huda 5, Bang ABC 4, Bang Fred 3 dan Bu Surini, Mbak Yeni dan Sopuyan masing-masing 1. Dengan demikian maka wakil Bidstu Keperdataan di SAF adalah Bang Edmon dan Bu Us, dengan Bang Idon sebagai "cadangan."

Baik pulalah di sini kuakui, adalah aku yang meletakkan nama Sopuyan di situ. Adalah Sopuyan sendiri dan Velen yang menebaknya dengan tepat. Menurut Velen, kalau "nyeleneh" biasanya aku. Namun, Velen, alasanku melakukan itu sama sekali tidak nyeleneh, menurutku. Alasanku sangat ideologis! Sudah pernah kukatakan, dan jika ada yang bertanya dalam suasana yang tepat pun akan kuterangkan, bahwa aku bersikeras mempertahankan keanggotaanku di Bidstu Keperdataan karena aku ingin mengubah haluannya. Jika aku jujur pada tujuanku itu, maka hanya Sopuyanlah --terlepas segala kekurangannya-- yang dapat kupercaya. Aku, kurasa, tidak mungkin menominasikan diriku sendiri, lha wong statusku saja belum ada kejelasan. Itulah sebabnya ketika menominasikan wakil SAF, kutulis nama Bang Idon dan... Sopuyan lagi. Bang Idon setidaknya dari mimbar Hukum Adat yang masih magis-religius dan komunal dan visual dan tunai. Demikian itulah laporan pandangan mata. Sekian dan Terima Kasih.

No comments: