Friday, December 27, 2013

Persiapan Resolusi Tahun Baru 2014


Sekarang aku sedang menunggu Shalat Jumat. Menunggu? Bo'ong banget! Kalau menunggu shalat Jumat tuh mbok ya sambil apa keq, itikaf di masjid, dzikir, istighfar... ini malah menulis-nulis. Tadi sambil mandi aku membatin, Ya Allah, sudah bertahun-tahun aku hidup tanpa Shubuh. Mengerikan! Usahaku untuk mendapatkan kembali Shubuh memang tidak maksimal, tidak sekeras yang seharusnya; dan aku takut berjanji bahkan pada diriku sendiri untuk memulainya sekarang. Bahkan sekarang saja aku masih melakukan kesia-siaan besar begini. Lebih mengerikan lagi, rasa-rasanya sekarang mudah sekali berbuat ke arah dosa, merasa seakan-akan kecil saja. Ya Allah, kemana perginya Hakikat Takwa? Aku sangat merindukannya. Kini, aku memandangi tumpukan amplop koreksian dan menuduh merekalah yang membuatku berpisah dengan Shubuh; meski aku tahu pasti bukan salah mereka. Salahku sendiri. Bahkan Bapak mengeluh sudah tidak pernah tahajud seperti dulu lagi. Sungguh... aku tidak boleh menyerah pada diriku sendiri.

Seperti dapat kalian lihat sendiri, aku sedang suka membuat judul yang biasa-biasa saja; begitu juga dengan ilustrasi entri, kupilih yang biasa saja. Bagian ini, akan tetapi, kuteruskan setelah selesai Shalat Jumat. Sebenarnya tadi, selama mendengarkan khutbah, muncul gagasan-gagasan relijius untuk diabadikan dalam entri ini, tapi... yah ada baiknya kulakukan saja sekarang. Dua khutbah Jumat terakhir ini, minggu ini dan minggu lalu, Alhamdulillah agak berkesan padaku. Minggu lalu mengenai hubungan antara tasawwuf, akhlaq dan syariah. Kata Khatib, gunanya tasawwuf itu adalah untuk membentuk akhlaq. Jika dipahami begini rupa, terlihatlah bahwa tidak ada hubungannya antara syariah dan tasawwuf; maksudnya, tasawwuf bukan alasan untuk meninggalkan syariah, lha wong tasawwuf itu urusannya dengan akhlaq. Syariah ibarat kerangka yang diperlukan untuk menegakkan tubuh, sedangkan akhlaq adalah daging yang memberinya isi. Membina akhlaq dengan tasawwuf. Membina syariah dengan apa? Ya, dikerjakan!

Minggu ini, khatib menasihatkan bahwa membangun itu [biasanya] lebih mudah daripada memelihara. Iman Islam merupakan hidayah-Nya yang dibangunkan dalam hati manusia. Kesungguhan dalam memeliharanyalah yang akan dinilai oleh Allah. Kurasa, khutbah Jumat dua minggu ini benar-benar mengena dalam hatiku. Insya Allah, inilah jawaban terhadap kegundahanku. Tiada lain Allah sendiri yang menggerakkan hati ini untuk mendekat kepadaNya, karena tiada daya upaya selain denganNya Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Lalu, setelah aku menerima nikmat karunia yang tiada taranya ini, aku tidak melakukan yang menjadi tugasku dengan sebaik-baiknya. Aku tidak memeliharanya dengan kesungguhan! Naudzubillahi tsumma naudzubillah! Jangan sampai aku termasuk ke dalam golongan mereka yang berbuat kerusakan setelah Allah memperbaikinya... meski nampaknya sudah... Dari mulai membiasakan shalat di akhir waktu, sampai... Ya Allah... mengerikan sekali kelakuanku! Namun, meski sambil menulis begini, masih juga terasa keras kakunya hatiku. Tiada bergetar sedikit pun ia, seakan-akan pongah menantang. Aku masih ingat betapa buku-buku agama itu terasa sangat melembutkan hati, setidaknya, begitulah yang kurasakan waktu itu... Sekarang sudah tidak lagi. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Wallahua'lam bish-shawaab.

No comments: