Saturday, August 06, 2022

Kalau Begini Saja Terus Kapan Selesainya


Waduh, sudah kelihatan miring begitu. Abunya bakal jatuh di luar mangkuk kayu berisi pasir yang diayak Mang Aisyah, sedang Masjid Jami' Nurul Yaqin sudah bersholawat bersiap-siap adzan Isya'. Nah, benar 'kan maka tadi itu aku berhenti untuk menunaikan ibadah sholat Isya' mumpung masih ada wudhu' [berarti sholat Maghribnya telat dong sampai Isya' masih punya wudhu']. Begitulah selesai sholat Isya' bukannya wiridan malah nonton TBBT sampai Cantik dan Ququq pulang, diteruskan makan malam boleh pesan McD untuk 4 (empat) orang habis hampir Rp 200,000 (dua ratus ribu Rupiah).

Bersama Ma Cherie Amour ini, aku tiba-tiba terpental ke geladak USS Carl Vinson atau John C. Stennis yag sedang memberikan penghormatan lambung kanan kepada USS Arizona. Waktu itu pagi yang segar bahkan sejuk, seingatku aku sudah cukup lama tidak mandi dan ketika itu pun kurang tidur. Itu dari lebih dua puluh tahunan yang lalu. Saat ini pun aku masih belum beranjak jauh, masih memeriksa KRI Makassar lalu Semarang, gaya-gayaan berpikir mengenai landing platform dock sedangkan Sefdin Saefudin memberiku bahan bacaan. Aku memang tidak percaya pada kepakaran. Tidak pernah. 

Aku bersyukur telah mencapai alinea ini, sementara semakin banyak saja abu jatuh keluar dari mangkuk kayu seharga Rp 15,000, sedangkan sebuah kacamata hitam dan wadah cakram-keras eksternal sedang dalam perjalanan menujuku. Sedang Aminudin Albek saja seorang komandan kapal, padahal aku sempat bertemu dengannya ketika ia baru capratar, begitu pula Bang Daru Indrahadi yang kini seorang perwira Marinir. Aku, sementara itu, sekadar mengajarkan antonim yang tidak selesai-selesai. Mana 'kusangka ketika SMP aku dipanggil Berry Prima, ternyata aku mengajar perlawanan kata begini.

Apa sekarang, mau dibawa ke mana lagi, ternyata kembali ke kantin Islamic Village. Hidup sekadar dibagi ke dalam episode-episode. Dalam episode manakah aku akan menamatkan Bonoisme. Menamatkan atau mewujudkan, ketika menerbangkan biplane saja aku tidak pernah, bahkan sekadar ultralight. Semua itu sekadar khayalan yang tidak berdaya, ketika nyatanya dari seluruh Paradua hanya Yulmaizir yang tahu rasanya menerbangkan F-16, bahkan Teguh Rumiyarto pun tidak. Namun bukan itu benar yang diinginkan Bapak, jadi mungkin Bonoisme memang harus mewujud. Entah bagaimana.

Sebelum ini aku hampir saja menulis mengenai malam-malam yang 'kuhabiskan dengan menggambar menggunakan pensil. Gambar-gambar yang jelek, sejelek musik-musikku yang tiada orang sudi mendengarkan. Tulisan-tulisanku adakah yang sudi membaca, tulisan-tulisan menjijikkan ini. Ketika malam sudah cukup larut, aku bersyukur bisa tidur sebelum tengah malam karena dulu itu sangat sulit untuk dilakukan. Sudah cukup lama aku bisa tidur malam, apalagi di kamarku, ruanganku yang rapi dan nyaman, lagi wangi. Tidak ingin pula terkenang malam-malam tak bisa tidur, amit-amit sampai pagi. 

Meski ini belum alinea terakhir, aku kembali berjalan di bawah derek. Jika sudah gelap berarti akhir musim gugur menjelang musim dingin. Aku mungkin mengenakan baju hangat dr. Icang warna coklat itu. Uah, sejuknya udara menerpa wajah ternyata 'kurindukan. Ya, hanya itu. Sepinya jelas tidak, apalagi jika kembali masuk naik lift ke lorong kuning itu. Di Kraanspoor lorong kuning, di Sepurderek kuning juga, opo tumon. Masuk ke 25 D8 tidak ada yang bisa dilakukan kecuali memandang ke seberang yang tak ada pemandangan juga kecuali menyakitkan, maka seperti Tukul kembali ke laptop.

Sekarang sudah di sini, meski tanpa sejuknya udara, maka kerjakan dan selesaikan! 'Kububuhi tanda seru di situ, maka tidak mengapa jika sebentar mampir di yang sekarang menjadi kantor Mas Narno, lantas pojokan Sekretariat Fakultas itu, lantas ruang ICT-Komintern, sampai kubikel pengungsi korban rezim, perjalananku sebagai dosen. Terasa benar suasana ruang praktek dr. Hardi Leman, seperti ini juga remang-remang lampu kuningnya, namun ketika itu sejuk. Adakah aku pernah merasakan kegerahan seperti ini sebelumnya, ataukah ini memang krisis iklim. Ya Allah, ampunilah.

No comments: