Tuesday, December 20, 2022

Kecantikan Dedek, Kesenduan Situ Cibeureum


Setelah mulai terasa Jumat malam sepulang mengawas ujian akhir semester mata kuliah hukum administrasi negara bagi program sarjana ekstensi, sampai pagi ini masih belum yes juga. Aku tidak tahu apa-apa mengenai dunia apalagi akhirat; yang jelas, aku pernah mendengar apa yang dahulu tak terbayangkan oleh para sahabat Rasulullah, sekarang dianggap lumrah, biasa-biasa saja. Tepatnya sih sah-sah saja. Akankah kita saling mengenal satu sama lain adalah pertanyaan yang menyelinap begitu saja bersama dengan manisnya alunan terompet, halus diselompret.
Siapapun yang membuat laut terkesan puitis, romantis, tidak peduli pada keadaan pikiranku yang sudah jauh menua. Belum lagi badan tambun melambanku, yang masih terasa nyaman ketika menghabiskan nasi kebuli ayam bakar jatah pengawas Jumat lalu di ruang bidstu berdinding kaca. Terlebih setelah sholat Isya' menyongklang VarioSua pulang pun masih nyaman. Akibatnya, dalam kulkasnya Pak Dian jadi ada sekotak teh buah beri biru. Akibatnya, Sabtu yang direncanakan bertemu dengan teh buah dan koreksian justru mengeluarkan uang seratus lima puluh ribu Rupiah.

Kini suasana sudah jauh berbeda, ketika genduk Keisya menyanyikan lagu yang pernah dinyanyikan Thavita. Ini adalah musim panas Amsterdam dua tahun lalu. Adakah aku ingin kembali ke masa itu. Apa yang ingin 'kuubah jika kembali ke masa itu. Aku TIDAK ingin kembali ke mana pun. Aku mau maju karena Insya Allah aku tahu ke mana aku 'kan menuju. Seperti yang 'kukatakan pada Cantik tadi ketika sarapan bubur ayam Cianjur, dunia ini tidak punya apa-apa untuk ditawarkan. Tidak bagi Bapakku, tidak juga bagiku. Apalagi aneka-rupa kehina-fanaan seperti itu.

Itu pula sebabnya, di siang hari Selasa yang gerah bermendung begini, aku justru menyanding sejebung teh melati panas kesukaan Bapak, dengan sekepret gula sekadarnya... dan mengetiki. Memang masih mengetiki, belum menyelesaikan disertasi. Wasaibmit masih sasaranku, aku alap-alap dengan pandangan stereo terfokus padanya. Pendingin udara bagaimanapun penting, dan kini aku tidak sanggup membelinya. Maka hanya bisa 'kudapatkan di kantor yang Insya Allah menyepi karena sudah liburan. Liburan kuliah memang waktu favoritku selalu, sudah sejak lama.

Jika benar aku tahu kemana 'kan menuju, mengapa masih mengenang badan mudaku yang berpeluh-keringat sedang elang-elang berlatih di depan kamarku. Waktu kejayaan nexianberry yang sesungguhnya enggan sangat 'kuingat-ingat. Waktu-waktu yang mengerikan mengapa hampir dalam hidupku, semoga tidak ada lagi dalam sisa umurku. Aku mengaku alap-alap sedang bentukku seperti kakapo begini. Badan penuh berpeluh-keringat begini memang hanya mandi solusinya, namun apakah bijak mandi dalam kondisi begini. Apapun itu, harus mandi karena harus sholat.

Apa harus 'kuceritakan mengenai lodeh kacang-panjang, labu siam, dan terong yang entah lebih enak mana dengan buatan Mbak Yem. Suatu sahur pada suatu Ramadhan ketika di belakang Pondok Annisa masih ada wartegnya, yakni Warteg Pak Jay yang kemudian pindah agak di depan Cornel. Terkadang terselip tanya mengapa tidak habis-habisan bertualang ketika itu, hanya untuk menyadari betapa itu telah menyelamatkanku dari rasa sakit yang jauh lebih hebat dari yang 'kurasakan sekarang. Atau suatu siang yang sungguh teriknya, demam, berjalan perlahan ke Snar Guitar.

Hidup memang selalu begitu saja, bahkan untuk seorang lelaki perkasa seperti Bapakku. Ini lagi pura-pura jualan es krim, pura-puranya untuk memata-matai. Khayalan yang sungguh payah untuk menemani bersepeda ke Molenwijk. Mengapa tumitku harus sesakit itu, ketika itu. Jika tidak mungkin aku akan terus memacu langkah-langkahku di malam-malam musim dingin yang cepat turun. Adakah dengan demikian aku menjadi lebih tidak peduli pada jendela-jendela yang terpampang di hadapanku. Bukan berarti tidak pernah ada lambaian. Penyelamatannya nan gemilang.

Tolong lihat aku dan jawab pertanyaanku

No comments: