Saturday, December 03, 2022

Entri Perdana Ruang Bidstu Berdinding Kaca


Selalu dan selamanya! Apanya. Bukan kembungnya yang jelas, meski karedok Sasari aduhai pas bumbunya. Aku selalu suka karedok, bahkan yang di Nging Kemang atau Cipunjur sekalipun, yang mahal itu; tetapi mengapa kalian selalu menyiksaku begini. Begitu juga dengan pecel, boleh beli di Mbak Ira atau merebus sendiri. Mengapa. Apa yang harus 'kulakukan, haruskah 'kujalankan nasihat Alvin makan umbi garut. Tidak, karena pada Pak Insan tidak mempan. Begitu kata Cantik. Ya, sudah. Jika demikian tinggal mengeraskan hati, sedang daun-daun mati berguguran.
Sebenarnya bukan itu. Terakhir aku melihat masih selalu. Mungkin itulah sebelum 'kumatikan karena Cantik sudah me-WA. Sebelumnya bahkan 'kutinggal lama sekali karena Hadi muncul dari balik kaca. Kami lalu minum jus mangga di saung kantin, kali pertama untukku. Saung itu bau tahi kucing, namun bagi perokok mungkin yang seperti itu tidak masalah. Tidak lama bahkan datang Alif membawa cerutu-cerutu. Perutku kembung bukan buatan, meski kantin kaca memang selalu nyaman, terlebih jika seorang diri di situ. Cukup besarkan saja kipas pendingin udara, bereslah.

Mencongklang VarioSua ke arah PNJ, ternyata diportal, maka mengarahlah ke kandang bis kuning, rotunda, balairung, seterusnya sampai berputar di depan menwa, menyusuri Margonda. Tadinya mau ke D'mall malah ke Peseq, meski tujuannya sama: Dapur Kekaisaran. Standar, bubur dua rasa untuk cantik, mie wonton udang untukku. Minumnya yang agak tidak standar. Aku minum liang teh, Cantik teh hangat manis, meski akhirnya memesan teh cina seteko juga karena tidak panas. Ah, sementara flamingo cantik beterbangan di sekelilingku begini.

Sampai di sini yang 'kuingat hanya kembung sekembung-kembungnya, sampai-sampai biji kanan nyut-nyutan. Apa masih mending ketimbang rindu-serindunya, aku tidak tahu, sedang laut memisahkanku dengan cintaku. Jika ini mengenai ruang bidstu berdinding kaca yang bergetar berderak gara-gara gempa Cianjur minggu lalu, Senin, 21 November 2022, maka biarlah. Kala itu, aku dan Hari sedang berbual-bual. Sekitar jam satu siang bergoyang-goyanglah tanah. Hidup dan biarkan mati! Sudah hampir dua minggu ternyata sejak gempa itu terjadi.

Pagi ini, setelah mengantar Cantik sampai di ambang Gedung VIII, aku memarkir VarioSua di depan WC samping SDM seperti biasa. Langsung 'kuminta Pak Roni untuk membuka ruang bidstu sementara berdinding kaca. Setelah melepas jaket, aku melangkah lagi menuju Barel. Sasari tujuanku, bertemu ibu yang tidak berubah sedikitpun dari duapuluh tahunan lalu. Ia masih mengenaliku meski aku jauh menambun. Bahkan ia masih ingat betapa aku sangat suka tahu sayur kuning. Pagi ini, aku memesan karedok, orek tahu, bulet, seutas otak-otak, dan sendok palastik.

Jangankan disertasi, bahkan kembali ke UUD 1945 meski dikaji-ulang tidak juga menarik bagiku pagi ini. Apakah karena perutku mulai mengembung. Aku malah kembali membuntuti Kapten Henry ke London, lalu Berlin. Tidak apa, karena ada kemungkinan setelah Oktober Bossman sudah tidak menjabat lagi. Mungkin Kapten Henry bisa pulang dan mendapatkan tugas laut yang sangat diidam-idamkannya. Teh herbal ini semoga benar berkhasiat. Ada waktu-waktunya aku ingin teh herbal begini: Rasa herbal. Selebihnya aku suka teh melati dengan sekepret gula. 

Akankah 'kudapati ruang bidstu sementara berdinding kaca tetap nyaman di hari-hari kerja, aku tidak terlalu peduli. Aku selalu bisa bersembunyi di tempat profesor mati atau tempat Togar. Kini aku merasa sedikit kembung meski sudah minum teh herbal yang konon mengobati kembung. Kapankah kini, besok bilakah datangnya, kemarin sudahkah berlalu, tidak penting di goblog ini. Apakah suara flut lebih cantik dari terompet, seperti aku tidak bisa membedakan antara cantik dan manis. Jelasnya, aku harus sangat dipaksa untuk menyukai perempuan berbentuk seperti Nanda Gita.

Betul-betul jadi romantis suasana hatiku

No comments: