Sunday, December 18, 2022

Sambal-sambal Sisa Jambal. Roti John Gunadi


Menenangkan, menyembuhkan, aku koq merasa seperti menonton film Cina. Beberapa hari ini aku di dalam rahim melayani para pelayan, yang membuatku serta-merta terkenang John Gunadi. Mengapa kau, seperti halnya Cobain, mati. Mungkin aku tidak benar-benar merindukanmu. Mungkin waktu-waktu bersamamu yang 'kurindukan, yang telah lalu. Mengapa aku merindukan waktu-waktu itu. Merindukan waktu yang telah lalu adalah kebodohan maksimal, mentok tidak bisa lebih bodoh lagi. Ini mengapa seperti ada bunyi gemericik air begini, sungguh menjengkelkan.
Ini terdengar seperti Kitaronya orang miskin yang bibirnya dower dan giginya mrongos. Apa lantas 'kan 'kukenang sarimomo dengan tempura ubi semua dan meki sapi, dan tentu saja pangan kentir. Bahkan burger and king sekali, sandwichnya yang menang tebal doang, yang seringnya dilanjut dengan atau bahkan sebelumnya. Jika begini aku tidak akan ingat mengenai apa ini. Cukuplah mandi asal-asalan tanpa handukan sebelum ke dokter Pahry medischine menjadi mnemonik, meski dipastikan keduanya selembar pun tidak. Ini bahkan lebih kecut asemnya entah apa.

Apa harus 'kukitiki dengan pandangan periferal di sebuah kamar kontrakan di bilangan Statensingel, antara selembar dengan berlembar-lembar. Malam-malam memang sudah seharusnya berakhir, digantikan dengan omong-kosong penuh kebohongan. Tenggorokan yang tidak nyaman beberapa hari terakhir ini biarlah ditingkahi dengan dentingan senar gitar dan piano. Aku bahkan lupa sama-sekali rasanya berjalan berpeluh-keringat dari Blok M ke Radio Dalam. Aku bahkan lebih tidak ingin bicara mengenai berjalan dari Pondok Indah Mall ke Radio Dalam.

Ketika bakmi apapun pasti begitu-begitu saja rasanya, seperti bakmi entah apa yang dijual di kantin sekarang. Saus sok cerdik itu memang sudah pada tempatnya, agar saus Sari Sedap penuh rodamin-b sekadar menjadi kenangan yang harus segera dilupakan. Terlebih bibir ayam Cirebon yang di Taman Puring itu, biarlah bibir ayam Cianjur yang dikenang-kenang; karena yang di McD itu tidak bisa disebut bibir ayam. Terlebih dewi Indonesia yang jelas-jelas bukan dewi kemerdekaan menyakiti seperti sayatan perlahan pada diafragma. Terlebih memulai dengan kata terlebih.

Lebih dari membelai, keinginan untuk dibelai dirasakan seekor anjing buduk yang sekujur badannya penuh borok dan kutu. Lebih dari apapun, dunia tidak akan memedulikanmu yang ingin beristirahat. Dunia ingin terus melonjak-lonjak kegirangan macam anjing peliharaan bertemu majikannya. Bagi sesiapa yang tidak tahu bedanya anjing dengan keharuman yang bisa saja hilang jika lama tidak pakai deodoran, maka sudah patutlah ia diabaikan. Sungguh tak berdaya menghadapi daya tariknya, magnetismenya, kuat membetot seluruh cipta, rasa, dan karsa.

Jika sudah begini, kenangan akan hisap-hisapan dan kepul-kepulan asap kretek, seteguk kopi hitam atau bir hitam sekali sungguh terasa tak berdaya. Bukan tekad yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah entri, melainkan malam yang semakin larut dan ingatan betapa sulit berdoa di depan wastafel sebelum meminum obat jika kawan-kawan terus bercericau bahkan mengomentari. Uah, kalimat yang berlari kencang seperti tidak pernah-pernahnya. Aku memang penakut tapi itulah yang 'kubutuhkan untuk berani: perasaan bahwa aku sedang takut. 'Ku tak sudi!

Terlebih jika menyangkal, enggan mengakui. Bukankah sama saja, meski serabi dan surabi bisa berbeda sekali. Jika diberi titik di situ sungguh menjadi masuk akal, terlebih ketika bersin seperti kurang sehat. Tiada laba yang didapat dari hukum administrasi daerah, sedikit dari hukum administrasi negara. Akankah dalam sisa hidupku ini, seperti ketika 'kutinggalkan rumah di tepi Ciliwung di suatu malam bulan puasa. 'Kurasa naik angkot sampai di depan Depok Mall, mengetahui di belakangnya ada MonggoMas, malah menjadi malam kekuatan. Jika bukan jijik, entah apa. 

No comments: