Friday, December 30, 2022

Dari Hari ke Hari Setanggi Kasturi Membaui


Aku bisa saja menari sepanjang malam, tapi aku mencintai Istriku. Ya, yang cuma satu itu. Apa mungkin memaklumi kelakuan Rodha yang seperti itu, ketika kelakuan Pamela pun 'kumaklumi. Rodha, Pamela, Janice, Natalie, Madeleine adalah nama-nama di seputar yang direndam dalam air asin, ya, air laut begitu. Seperti inikah gambaran mencintai istri yang hanya satu, boleh juga. Sedang aku menatap lurus ke ujung jalan Blok M, kentang-kenting Danau Como menemani Ibuku muda menjemur baju di pavilyun dari 30 tahun lalu. Sudah tentu Ibu menyayangi adikku perempuan yang terkecil seperti Istriku menyayangi kedua-dua anaknya.
Jika kau minta dicintai, menyuruh secara otoritatif begitu untuk melakukannya, memang sebaiknya dilakukan dengan riang. Jika perlu dengan pukulan rampak pada simbal lengkap dengan perkusi sekali. Kepada siapa akan 'kusuruh begitu. Jangankan mencintai, aku bahkan tidak mau menyuruh orang mendengarkanku atau melakukan apapun untukku. Jika pilihannya hanya memberi atau menerima, maka sudah barang tentu aku memilih memberi. Riangnya perintah mencintaiku memang tidak ayal membuat hatiku turut riang. Entah apa kelanjutannya. 

Aku ingin melakukannya denganmu, maksudku, jika aku harus mencinta. Ini adalah ruang bersama Asrama UI Depok medio 1990-an, mungkin sekitar jam tujuh petang begitu. Apakah ketika itu aku masih bisa tidur nyenyak di malam hari, senyenyak tidurku di Magelang. Meskipun tidak, perasaan badan segar sesudah mandi, mungkin dengan rokok sebungkus di saku, korek api entah geretan entah mancisnya sekali, sungguh manis terasa. Badan muda, pikiran muda yang bodohnya minta ampun. Penyesalan nan tentu saja datang kemudian demi tersia-siakannya waktu. 

Ah, tepat di sini waktuku di Manhattan berakhir, karena bagiku kau lebih dari sekadar perempuan. Kau Istriku satu-satunya sampai Insya Allah 'ku mati. Sebagaimana dunia hanya satu, aku pun hanya sanggup mencintai satu perempuan. Bukan mencintai dalam arti berhubungan seksual, melainkan mencintai segenap jiwa raga seperti Leonidas pada Gorgo. Terlebih ketika sekarang 'kubersatu kembali bersama dengan belahan jiwaku yang lucu bau dahinya tepat pada anak-anak rambutnya. Sebagaimana Papa dan Mama semasa hidup menyayanginya, begitu aku.

Uah, Laguna Mengantuk dari masa mudaku sekali. Aku memang selalu suka di sini, dengan dedaunan layu berguguran melayang-layang di udara sebelum mengapung berayun-ayun di permukaan air yang tenang, setenang hatiku. Betapa tiada yang 'kukhawatirkan jika sedang menghabiskan waktu di tepi-tepiannya, entah dengan bermalas-malasan atau berjalan-jalan sekadarnya. Badan yang ringan meski aku tidak pernah dikatai kurus seumur hidupku, yang jelas bukan satu kuintal lima kilo lebih. Seperti telur yang seringnya setengah kilo, minyak tanah lima liter.

Maka ketika begitu saja 'kutarikan waltz terakhir bersamamu, aku jatuh cinta padamu. Ada hal-hal sedemikian yang menyebabkannya, seperti pantai mengantuk dan bayi kecil yang cantik. Percuma disebutkan satu per satu jika intinya adalah kau belahan jiwaku. Keindahan inilah yang akan 'kukenang selamanya, Insya Allah akan 'kuhadapkan pula, 'kupersembahkan kepada Tuhanku. Aku tidak punya apa-apa, Tuhan, kecuali ini: cintaku pada ciptaanMu ini, anak perempuan Papa Mama yang terkecil. Kasihanilah kami seperti Papa Mama mengasihinya sedari kecil.

Mendekati senjakala begini suasana hati sudah berlainan sekali, sampai terpikir progresi atau retroaksi. Hatiku semendung senja yang manis ini, yang mungkin seharusnya 'kumanfaatkan untuk berjalan-jalan agak setengah jam,  melangkahkan kaki-kaki. Mungkin akan 'kulakukan setelah ini, secara cuaca sungguh mirip Uilenstede di musim semi, padahal ini tepian Cikumpa. Ciliwung pagi ini airnya deras sekali, mungkin hujan deras di hulunya sana. Begitulah hidup di tepian Cikumpa ini. Ya, membulatkan tekad memang bukan keahlianku. Entah apa keahlianku ini.

No comments: