Saturday, September 03, 2022

Cantik, Ini Kekerasan... Biarkan Saja, Sayang


Perutku sudah seperti Bengawan Solo begini, mengalir sampai jauh, sedang aku bertelanjang dada sampai perut, mengetiki sendirian di Ruang Bidang Studi Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Harus ya dirinci seperti itu, sedang kedua lengan telanjangku kedinginan meski tidak dihembus langsung pendingin udara merek Panasonic tepat di atas bekas kubik almarhum Pak Wied Suryandono. Mulutku terasa seperti ingin dibersihkan, sedang perutku, atau lidahku, terasa seperti ingin minuman hangat berbadan tebal. Apakah dalam tasku ada Susu Jahe Sidomuncul bersama dengan Serbat Jangkrik Mas Habatussaudanya sekali. Apa 'kan 'kuperiksa sekarang juga. Entahlah...

Ya, Sayang, tidak usah pagi ini, kapan pun kau selalu cantik sekali. Cinta itu memang adanya di hati nurani. Cinta itu adalah ketika seluruh panca indera diistirahatkan, mata dipejamkan, telinga disumbat, hidung anosmia, lidah ageusia, sekujur kulit digosoki lumatan daun tapak liman; pendek kata, mengheningkan cipta. Sungguh kasihan orang yang merasa mencerap kecantikan namun matanya nyalang, telinganya tegak, hidungnya mengendus-endus, lidahnya mencecap-cecap, kulitnya meraba-raba. Bagiku, kecantikan memang tidak pernah berwajah tak berupa. Kecantikan itu terasa seperti khayalan akan sejuknya angin sepoi basa di tengah siang hari bolong, di puncak musim kemarau yang tidak berangin.

Kedua belah lengan atasku sudah sedemikian kedinginannya, maka 'kumatikan pendingin udara. Ternyata itu yang berhasil memaksaku mengangkat pantat besarku. Apakah keinginan untuk minum minuman berbadan tebal dapat membuatku melakukannya lagi, entahlah. 'Kusuka Chopin sampai di alinea ketiga ini belum juga habis, Hei, Julio Iglesias begitu saja menyapa dari masa kecilku yang cantik. Ibuku memang cantik, itulah sebabnya aku ganteng begini. Aku, Insya Allah, sudah tahu betapa hidup ini memang indah, tinggal bagaimana menikmatinya saja. Aku belum lagi tahu seberapa indah kematian, meski jika memperhatikan contoh-contohnya, Insya Allah, bahkan jauh lebih indah. Semoga saja...

Betapa tidak indah, ketika dapur berdinding batako buah tangan Bapakku sendiri, berjendela kawat ayam, tidak pernah disentuh matahari pagi maupun sore kecuali pada Juli sampai Agustus. Mana 'kutahu ketika itu bahwa di Luxembourg atau Grenoble pada waktu-waktu seperti itu tengah musim panas. Beberapa puluh tahun kemudian akhirnya 'kutahu sendiri bahwa di Maastricht dan Amsterdam memang sedang musim panas pada bulan-bulan itu, maka dapur Ibuku dikecup matahari pagi. 'Kurasa belakangan sudah tidak begitu ketika pohon jeruk, asam, dan jambu semakin besar dan lebat. Pohon jeruk yang tidak pernah berbuah itu, khayalan seorang perempuan muda yang tidak pernah menjadi kenyataan.

Bapak tidak lagi membutuhkan jeruk pecel atau jeruk apapun, seperti halnya Pak Widodo tidak membutuhkan lagi tumpukan kertas-kertasnya. Hei, di sini banyak sekali orang mati. Coba kudaftar, mulai dari Pak Andhika, lalu Bu Eka, lalu Mbak Melania, lalu Pak Widodo, lalu Bu Arie. Maka 'kukorek-korek saja hidungku dari tahi-tahi upil yang menggumpal-gumpal di dalamnya, mengeluarkan bau yang sedap-sedap memuakkan. Aku kehabisan cinta, maka kupelankan suaranya, karena kehabisan cinta paling cantik bila terdengar lamat-lamat. Keinginan untuk menggosok gigi semakin kuat, namun 'kuselesaikan dulu saja mengetiki ini. Tinggal dua alinea pun. Siapa tahu mengitiki sedang gigi berjigong malah lebih kreatif. 

Selalu, selalu saja. Tertidur di lantai hanya berkaus singlet bercelana pesiar. Terbangun sedang di televisi selalu saja Russel Hitchcock, menyeterika sedikit, menggosok-gosok kuningan dan sepatu, mengenakan jas pesiar malam. Baguslah aku punya kenangan ini, karena memang cukup menjadi kenangan saja. Keadaanku kini yang Insya Allah sebentar lagi seorang doktor lulusan Universiteit van Amsterdam tentu lebih menyenangkan. Terlebih jika memikirkan rencana-rencanaku untuk menulis berbagai-bagai buku. Memang ternyata hanya itu cita-citaku dari dulu. Tidak menjadi laksamana, menteri, apalagi persiden, aku hanya ingin menulis buku. Sudah dua buku 'kutulis, tinggal menyusul sisanya.

Terlebih jika mengingat buku-buku agama yang memenuhi rak dan mejaku, menunggu untuk dibaca. Apakah plus mataku akan terus bertambah, entahlah. Masya Allah, betapa menyenangkan hidup yang diisi dengan membaca dan menulis. Jika sesekali terpaksa mengoceh, mendongeng, mau bagaimana lagi. Jika sesekali terpaksa main kiu-kiu bersama Sinta, apa hendak dikata. Jika sampai sekarang aku masih menunda-nunda mengisi BKD, tidak boleh dibiasakan. Biarkan saja! Aduhai, mengapai kau tidak pernah berhenti cantik sejak kecilku. Sampai tua begini, sampai sekuintal lebih beratku, kau masih saja cantik. Aduhai, tidak kendur pula pelukanmu padaku meski sekarang aku tambun begini.

No comments: