Sunday, December 25, 2022

Jedug Jeder Jemblem Padahal Ada 'Ku Sendiri


Tak pernah 'kusangka 'kan begini jadinya setelah setua ini. Ini tak ubahnya menungging di lantai kamar mandi sambil mencolok lubang pantat sendiri. Entah sakit apa aku ini, yang jelas ia mengacaukan jam biologisku. Ini seperti yang diderita Cantik awal-awal sakitnya, dan kini sudah sebulan sejak terkena. Meski sejuknya udara malam menyelimuti, kantuk tak kunjung tiba. Sedang di siang hari aduhai betapa sulit menjaga 'tuk tetap terjaga. Tiap-tiap kali habis makan maka tak lama kantuk menyerang, betul-betul sampai mengangguk-angguk sambil berseru trilili lilili lilili...
Di tengah rasa tak berdaya dan putus asa melanda, aku memimpikan sepucuk Walther PPK/S atau Makarov untuk 'kutodongkan pada sisi kepalaku sendiri; karena sudah gila apa aku menggunakannya untuk ber-"olahraga". Itu biar Ario Sasongko saja yang begitu. Aku ini atlit lempar cakram dan lembing meski kemudian harus memimpin suporter, yah, semacam Kostrat begitu lah hahaha. Semakin 'kupikirkan mikrofon dan Audacity, semakin jengkel aku. Aku ini penulis, hei, aku belum lagi periksa apakah Kang Yudi Latif punya cenel yutub. Tak'da, karena beliau penulis.

Sewaktu shalat Isya' tadi, tiba-tiba hadir suasana hati pulang malam-malam naik trem Amsterdam. Jika trem maka 2018, maka Kees Broekman, karena Kraanspoor bis dan feri. Kalau masalah hangat, semua sama hangatnya. Kecuali duduk terlalu dekat dengan pintu, maka setiap kali dibuka udara dingin masuk membelai. Amsterdam sepi, bagaimana Maastricht, kamar di lantai dua dengan desauan Veolia jurusan Malberg. Ini pula aku akan mengikuti matahari dibuat sok gruveh fungkeh begini. Bisa juga di Kapadokia meski hanya seutas selembar. Ternyata begini saja.

Malam ini aku kacau-balau seperti masa mudaku. Bedanya tidak ada rokok jangankan seslof, sebungkus, setengah bungkus, sebatang sepuntung pun tak. Alih-alih kopi, secangkir serbat jangkrik emas; apatah lagi bir hitam. Aku ini mahluk rohani, maka rohani nomer satu sedang jasmani untuk ditahankan. Jangan sampai terbalik bisa merana lahir batin. Terpaksa 'kumaki karena cintailah aku tolong ditafsir-ulang keterlaluan. Nah, jauh lebih, lebih baik amboi aduhai begini. Biar jedug jeder jemblem jika diliputi dan mencurahkan tanpa henti terlebih disukai. 

Kata kerja, jangan kata sifat apalagi benda; dan tamatlah serbat jangkrik emas, dilanjut air panas. Nyatanya menahankan rohanilah yang membuat malamku kacau-balau begini. Masa orang naik metro disedot WC iblis, lantas melayang-layang sampai terjatuh di sebuah lapangan berumput, mementungi iblis-iblis. Apakah 'ku merindukan membangun dan menghancurkan peradaban-peradaban. Uah, aku sudah terlalu tua untuk itu. Lebih baik aku menyerahkan seluruh jiwa raga bagi cita-cita perjuangan bangsaku, karena jika tak pernah mencoba sudah pasti gagal.  

Memang tidak ada pilihan lain: tahankan. Otak bisa berkhayal mengenai bau-bauan yang menimbulkan sensasi-sensasi tertentu, namun itu cukup bila sedang mengaso saja. Selebihnya tulislah buku, dan terpenting: selesaikan disertasimu! Ini sudah tidak di Amsterdam yang sepinya mengerikan itu. Ini di tepi Cikumpa sini, di mana kau bisa mengakses mie ayam donoloyo beserta cireng gejrotnya sekali setiap saat. Jika kaukira hidup orang lain sempurna, kau tidak tahu saja duka derita yang tak tertanggungkan; seperti pemburu kota dengan meriam pemburu sancanya

Sekarang ini sudah cukup baik, karena terasa baik. Berpumpunlah pada keuntungan-keuntunganmu, lupakan serangga yang berseliweran dalam benakmu; terlebih jika walang sangit. Jika belum mengantuk jangan baringkan badan di pembaringan. Terbaik memang membaringkan badan entah siapa; namun jika tidak ada, maka jauhilah pembaringan. Itu akan menjaganya tetap sejuk, meski tidak mungkin sesejuk pembaringan-pembaringanmu di Kees Broekman, Uilenstede, atau Kraanspoor. Itu semua tempat mengerikan, yang kaubutuhkan adalah sebutan. Itu sudah.

No comments: