Thursday, December 15, 2022

Jula-Juli Grand Artos Merana. Aku yang Merona


Astaga, adik itu mengetik dengan rampaknya di luar, di balik jendela berkotak-kotak kecil itu. Mengetik betulan loh, bukan mengitiki. Aku sudahlah mengitiki, membiarkan otakku dibuat frappe oleh si Wedus Cobain dengan semacam logam alkali. Apa kabar Denny Luqman al-Hamzah, kemungkinan ia sedang menjalani hidupnya seperti kebanyakan orang Jember yang menjadi pegawai negeri. Tidak seperti orang Batak yang jadi aparat, baik sipil maupun militer, orang Jember satu lagi malah sudah mati, pegawai negeri pula. Wedus memang harus dipong kepalanya.
Emang sudah edan ini Wedus. Memang aku pun harus dihardik jika kebanyakan bernostalgia. Memang betul aku berpura-pura seakan sejarah demikian pentingnya, padahal itu cuma kecenderungan mentalku untuk terus bernostalgia saja. Meski Alvin masih menjawab ia tidak pernah pesiar, lebih sering ke rumah pamong. Semua kenangan masa lalu memang tidak pernah berdaya, tidak pernah sanggup menjawab tantangan masa depan. Aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Entahlah apa aku punya suatu gagasan mengenai masa depan.

Ini 'kuteruskan setelah lewat tengah malam, bahkan sudah berganti hari. Mengitiki 'kuhentikan tadi karena aku mengantuk sekali; yang 'kulakukan malah pergi ke kantin, beli teh tarik dan dimsum, 'kunikmati bersama FDR, Harry Hopkins, dan Captain Henry. Ini malah sekarang lagu cinta timur berkumandang di keheningan malam, sedang aku tidak berdaya menahan rasa tidak nyaman karena sedikit sekali kena karbohidrat malam ini. Aku menindaknya drastis dengan sarimi goreng ayam kecap, masih dengan dua potong keecho dan seutas sosis koktil. 'Kurasa tiada jalan lain.

Jika aku tidak bisa memberimu apapun kecuali cintaku dihembus dengan saksofon memang aduhai sedap, meski bait-baitnya agak menjengkelkan. Padahal tadi sempat juga membantu Cantik menghabiskan grameh goreng 600 gram sisa makan malam bersama Wiyono. Aku baru tahu ternyata sebelum Michele aku sendirian saja. Aku tidak pernah suka sendirian yang ini, maka 'kusabari saja sampai Michele sendiri yang menjelang; mana tidak habis-habis ini. 'Kupandangi dan 'kuelus-elus perutku yang menambun mengkhawatirkan. Ah, Michele datang. Selalu saja memesona.

Lelaki tua, botak, tambun ini sudah kelelahan diterjang pesona, ketika rona Grand Artos saja membuatnya merana. Ia tidak butuh lagi pesona yang bertebaran di sekelilingnya setiap hari, risiko pekerjaannya, tempatnya mengais rejeki. Pesona bertebaran sudah tidak terasa sebagai rejeki baginya, hanya mengundang helaan nafas. Terlebih ketika mandi dengan sabun cuci tangan di toilet PDRH, lelaki muda autis melonjak-lonjak di kursinya, entah apa yang ditontonnya. Tempat persembunyian yang horor di atas jam empat sore jelas tak mungkin diandalkan siapapun.

Tiada apa yang dihasilkan kecuali entri, meski bangun sampai jauh malam begini, sudah berganti hari. Betapa tidak. Perut dihantam sarimi isi dua sebelum tengah malam, padahal bisa makan sayur rebus lagi, dengan sedikit nasi kalau takut sakit lagi. Perut yang selalu terasa mengganjal sudah beberapa tahun terakhir semenjak pandemi bahkan sebelumnya. Entah bagaimana aku 'kan melaluinya, ketika Japri muncul tiba-tiba menanyakan sudah submit wasaibmit. Uah, mahogany, bukan mahagoni, dari masa kecilku, senantiasa membelai qolbu, menyejukkan mata-hatiku.

Aku senang gambarannya kambing-kambing berwarna-warni, ada yang hitam pula, sehitam mahagoni. Dengan perut tambun mengganjal begini, mata-mata yang terlalu dekat jaraknya namun bulat memesona menjadi terasa demikian jauhnya. Rambut tipis saja sudah menandakan bukan, karena rambut seharusnya tebal indah mengombak seperti rambut Cantik. Memang tidak ada kurangnya, justru banyak lebihnya. Aku suka yang lebih-lebih, sampai luber-luber begitu, seperti mie ayam donoloyo, sampai susah diaduk. Jika tidak untuk meratakan saus rodamin-b, takkan diaduk.

No comments: