Tuesday, October 31, 2017

Oktober, Mon Amour, Mengabahkan Abai-abai


Tanggal ini jatuh pada suatu Selasa, sehingga ini pasti semacam persiapan mengajar Wardat dan juga memesan gado-gado ditambah jus mangganya sekali. Ataukah ini sapo tahu asal-asalan dengan kimpul tahunya sekali? Semester gasal mungkin memang membuat kesehatan memburuk, entah dengan kesibukannya yang luar binasa, atau perasaan seperti memanfaatkan segala peluang untuk mendapatkan uang. Asaptaga, dengan Concerto de Aranjuez begini, terasa benar merananya. Mencari uang untuk apa, ketika kesukaan tinggal permen pedas dan susu kedelai sejuta dua juta buat apa?


Lantas ini Aria apa? Syukurlah satu-satunya Aria yang kuingat sekarang adalah Aria Sutjahja, meski ingatan itu kembali tepat ketika kumenuliskannya. Biarlah Aria ini saja yang mendesah mendeham-deham karena getaran bilah bambu. Biarlah aku bersenang-senang di Brasilia, meski dalam hidupku yang ini mungkin aku tidak akan pernah sampai ke sana. Untuk apa, apa faedahnya? Biarlah hatiku saja melonjak-lonjak kegirangan dalam gembiranya nada, meski menyimpan suatu ironi yang sukar dilukiskan kata-kata, karena melukis dengan cat, kuas dan pisau hanya untuk Belinda Rosalina.

Sedang bagiku cukuplah berdansa dengan Rumena, aduhai betapa cantiknya! Tanpa harus dirol atau pakai obat pengeriting, tebal mengombak rambutnya. Namun yang paling kusuka adalah bau puncak dahinya di mana bermula rambut indahnya. Lucu baunya, cantik ianya! Aku berdansa, meski harus kuakui seringkali menjengkelkan, berputar-putar dengannya. Namun begitulah Rumena. Nama apapun menjadi penting apabila hanya satu ia, dan itulah yang kaumiliki hanya satu-satunya. Kau jadi tidak peduli nama lain, apalagi sampai menginginkannya, untuk selama-lamanya.

Dan Rumena masih belum selesai juga, dengan akhir seperti birunya Sungai Januari. Sungai! Sungai! Jelas bukan Cikumpa, karena ini seharusnya besar dengan kapal uapnya sekali, dengan kincir pendorong di tiap sisi. Mi Amor! Asal jangan mis amores saja. Tidak hanya Paul Mauriat atau Francis Goya, kurasa Fausto Papetti pun seperti itu, membuat yang sudah indah menjadi lebih indah. Aslinya pasti tidaklah seindah ini, seperti pernah kudengar Maria Lo, amboi aduhai oleh Opa Fausto dibuat membelai telinga. Kemana perginya orang-orang ini, di tengah zaman genosida kreativitas ini?

Entah kemana! Meski dengan sintesaiser dan gitar listrik berefek, meski tidak seperti Paolo Mantovani. Keindahan adalah keindahan! Melembutkan jiwa, seperti jiwanya seorang Penggembala yang Kesepian. Pasti sekarang kausesali badan dan pikiranmu yang kotor 'kan? Pasti kau berharap seandainya tubuh dan jiwamu suci. Tolol hahaha mau sampai kapan tubuh-tubuh bertato menjalari punggung-punggung terjal bumi, semakin tandus dengan selera rendah kebendaan menjejali? Meski cantik bentuknya, meski mungkin membuat muntah apalagi baunya, memang bangkai sejati!

Uah, ini mulai terdengar seperti karya seni. Inilah prasasti modern. Jika dunia masih ada seribu tahun lagi, ia akan diungkap orang sebagai suatu arkeologi. Ahaha Si Tolol yang hanya karena secarik kertas merasa berharga bernilai tinggi. Tidakkah kau mulai merasa betapa hidupmu hampa heh, El Bimbo?! Dari kejauhan mereka cantik, namun begitu kausanding tiap hari, mereka terasa seperti nasi bungkus basi dari hari kemarin atau kemarinnya lagi. Ahaha akhirnya begini. Terlebih mengenai kesukaanmu, preferensimu, apakah dengan begitu terasa manis lagi harum baunya? Tentu tidak!

Akhirnya, memang tidak salah jika ada yang menyangka burung gereja lebih asyik daripada keong. Mereka yang menyangka terbang melayang di awang-awang lebih mengasyikkan daripada menyeret perut di atas lendir sendiri beringsut-ingsut, memang tidak bisa disalahkan. Kemungkinan besar mereka tidak pernah bisa terbang, karena duduk di kursi sambil berharap sekejap keindahan bukanlah terbang itu sendiri. Kemungkinan mereka tahu perut sendiri, dan pasti mereka pernah ingusan, Emmanuelle. Jadi maafkanlah laki-laki gendut bertetek menjijikkan, bertopeng pula. Maafkanlah.

No comments: