Saturday, September 30, 2017

Suatu Entri Retroaktif Mengenai September


Sedang ditemani keabadian begini, aku harus bersikap seolah-olah waktu membeku di sekitarku. Bukan retroaksi benar, hanya penayangannya, karena kuniatkan ini untuk semua saja September yang pernah kulalui, atau September-september yang akan kulalui. Keceriaannya, seakan milik kita bersama. Uah, sudah lama otak ini tidak dipaksa ngomyang begini rupa. Sampai lupa aku berapa baris seharusnya satu alinea. Ya sudah mari dikira-kira saja. Bahkan membayangkan saja sekarang terasa menakutkan, mendekati jam sembilan malam begini masih di Mertoyudan? Tak usah.


Kenangan masa muda sudah tiada berguna. Khayalan masa depan tiada berdaya. Akankah berhasil kuselesaikan agak enam baris dikali tujuh alinea ini, aku tidak tahu. Begitu saja setelah sekian lama aku melakukannya lagi. Begitu banyak perubahan yang telah terjadi, namun juga begitu sedikit. Ini jelas bukan hikayat mengenai Sukab apalagi legenda. Tetap saja entri yang ditulis segenap hati mengundang seulas senyum di bibir penulisnya sendiri. Memang hanya itu gunanya, sebagaimana diniatkan. Begini inilah kebahagiaanku, karena bayang-bayang malam selalu membuatku sendu.

Inikah yang dimaksud malam-malam berkepulnya asap Minak Djinggo yang terbuat oleh Nojorono? Sampai begini sajakah? Memang edan jika kau mengharap akan sampai kemanapun tanpa pernah ada hasrat melangkahkan kaki. Ini seperti malam-malam temaram, sedangkan gerimis mengerukup bak tabir malam. Aku memang belum pernah punya rumah mewah, mepet sawah. Binatang malam entah kodok, entah katak, entah serangga cerewet meramaikan malam. Ataukah ini malam-malam pelabuhan peti kemas yang menyeramkan, tapi kalah seram dengan suramnya masa depan?

Sudah begitu saja segala jenis dan merek rokok berganti-ganti, lalu minuman keras? Sampai di sini saja? Untuk apa? Entri ini, untuk apa, sedangkan masih harus membuat yang seperti ini setidaknya satu lagi. Sedangkan masih harus membuat tiga lagi setidaknya seperti ini? Atau malam-malam di ketinggian lantai empat Gedung D FHUI. Jika tidur sendiri terkadang terasa aduhai juga. Namun setidaknya ketika itu masih sanggup mandi dengan air dingin. Pernah juga memaksakan merokok Gudang Garam Filter sampai sakitnya aduhai, sampai muntah sekali. Pada waktu itu, masih juga.

Sesaset Jahe Wangi yang benar-benar wangi di ruang pojokan itu, di bawah tangga. Jauh lebih baik keadaannya dahulu daripada kini. Jahe Wanginya boleh beli di Alfamart Psiko. Mbak-mbaknya masih yang dulu juga, sampai saat terakhir kadang masih terlihat. Sampai ada Bakwan Halim, yang jual bapak-bapak ikhwan tapi musiknya metal. Aku tidak ingat hujan. Lagipula buat apa hujan-hujan ke situ? Lalu ada juga mandi setelah itu tidak handukan sebelum ke Dokter Pachry yang melakukan praktek medischine. Astaga ini anakronis! Buat apa ini semua, untuk tobat jelas tidak. Lantas apa?

Ah, justru di akhir-akhir begini akhirnya ingat September buat apa. Tentu saja buat sahur. Tentu saja untuk manisan cumi kering yang asin bukan kepalang. Tentu saja mengenai suatu episode surealis dalam hidupku. Ataukah jaga serambi sedangkan membaca shalawat munjiyah ketika aku berpikir bisa menjadi prajurit taruna terbaik, seperti ketika aku menyangka bisa kumlot? Monalisa, Monalisa, anak yang manis, September adalah suatu malam ketika bahkan masih sempat membeli martabak padahal sudah mulas. Apakah ketika itu bertemu Bang Fajar Tjahjanto yang sedang membeli susu?

Apakah ketika itu bersama Kita-nya Sheila on Seven dan Dian Sastro yang kupingnya besar? Berapa banyak September harus kuingat, berapa lagi yang kulupakan, seperti tarian di Hotel Kalifornia? Nah, nah, entri ini mendekati akhirnya. Ia harus berakhir dengan... manis? Mendesah? Seperti seribu kunang-kunang di Manhattan, maupun Amsterdam kurasa sama saja akhirnya. Sungguh terasa aneh seperti ini, terasa seperti suatu kemunduran. Terasa seperti sebentuk senyum yang aduhai mana tahan. Kutahankan saja. Aku tidak mau begitu. Aku tidak tahu kemana ini akan membawaku, tapi jangan...

No comments: