Monday, August 07, 2017

Terumbu Ngarang Mengapa Selalu Saja Terjadi?


Ini suatu judul tolol yang kurang lebih sama dengan "suatu kemampusan"-nya Sugiharto "Jakru" Nasrun ketika dia sedang mengendap-endap mengintai hantu, sementara tikus besar begitu saja nyelonong ke dalam kamar sampahnya. Segala puji memang hanya bagiNya yang mengaruniakan rasa riang dalam hati hambaNya melalui kenangan-kenangan kecil. Biasanya, setelah mengenang begini, aku akan segera terlempar kembali ke kekinian. "Apa jadinya Si Kampret satu itu?" Baguslah ia sudah tidak menjadi bagian dari hidupku. Cukuplah ia menjadi bagian dari salah satu episode hidupku yang... telah lampau. Begitu saja? Tidak mau kaukomentari lebih jauh? Tidak 'lah.


Akan tetapi, ini adalah entri mengenai terumbu. Berapa kali ia terjadi dalam hidupku? Tentu saja terumbu karang bahkan yang sehat segar bugar tidak akan sanggup melukaiku, apalagi yang sudah mengalami keputihan husy... pemutihan gara-gara air laut terlalu panas. Terlebih setelah aku setua ini, apa peduliku pada terumbu karang, ketika aku sudah punya segalanya. Namun, namanya terumbu karang memang selalu dan selalu saja terjadi. Menjengkelkan memang. Terkadang penyebabnya adalah hal-hal terakhir yang mungkin terpikir olehmu bisa menyebabkannya. Namanya juga karang, seringnya tajam. Terkadang menyayat, pedih sebentar. Jengkelnya itu loh yang terkadang lama.

Sebelum lanjut ke jenis terumbu yang lebih berbahaya lagi, ada baiknya aku mengucap syukur atas satu lagi kecantikan yang dikaruniakanNya dalam hidupku. Betapa tidak terduga-duga! Datangnya, bentuknya, suasananya. Aku mengapung di awan-awan, sedang manisnya madu yang seakan menetes dari guagarba perawan kucucupi. Ini terasa seperti riangnya kesunyian kelap-kelip gemintang di kesenyapan malam, keberadaanku, cintaku. Aku memejamkan mata dalam posisi duduk, nyaman sikuku menyangga badan bagian atas. Kecantikan itu menjalar-jalar mengelus alam pikiranku seperti jari-jemari lentik kekasih merayapi tubuh telanjang, menggelinjang. Haruskah kusesali pandang yang kucuri, atau haruskah kujalani hidup merindu dendam seperti Adso dari Melk?

Ini, bagaimanapun, adalah entri mengenai terumbu. Untunglah kecantikan di awan-awan itu tidak berterumbu, seperti di tepi laut berpasir putih; karena ada satu lagi jenis terumbu yang lebih berbahaya, yakni terumbu buta! Hiy, disayat dan disayat berulang-ulang, padahal satu sayatan rasanya seperti Khusus yang mencengkeram lengan bawahmu dengan gigi-geliginya, tepat di antara radius dan ulna. Berdebar-debar itu pasti, sudah itu lemas. Sakitnya sudah tidak terpikirkan, hanya keterkejutan yang menghisap segala tenaga. Ini lagi. Ini pahit. Ini sakit. Ini bahkan lebih parah dari terumbu buta. Uah, hidup di dunia, mengapa penuh kesakitan? Mengapa selalu saja menyakiti?

Sedang Bapak Ibu memandangiku dari tepi sebuah fjord di Tønsberg dari sepuluh tahun yang lalu, aku terheran-heran mengapa nyaris tidak mengenali beberapa malam yang mempesona. Beberapa dakian dan tukikan melodinya masih dapat kukenali, namun mungkin inilah keajaiban aransemen dan rendisi. Garfunkel atau Mantovani? Dua-duanya mungkin akan kusuka, meski dalam hal Garfunkel bagaimanapun harus kuakui keajaiban permainan panjang. (longplay) Jika tidak dalam serangkaian longplay, mungkin tidak akan terasa seperti keajaiban. Inilah Bukulagu Akbar Amerika, yang sekaligus membuktikan bahwa keburukan tidak mungkin dilekatkan secara kolektif pada suatu kumpulan orang.

Nah, kebetulan bicara mengenai sekumpulan orang, mengapa tidak diungkap di sini? Nyaris saja aku menuliskannya sebagai sebuah status pesbuk. Untung tidak jadi, karena Donbangi Dontiba juga menulis status tentangnya. Sejujurnya, ukurannya memang lebay dan ngeselin; meski tidak lebih dari mesjid kubah emas. Uah, aku, seperti Bapakku, memang tidak pernah tahan melihat perlakuan yang tidak adil. Begini saja deh, jika mesjid kubah emas saja bisa kutolerir, maka patung Kongco Kwan Sing Tee Koen pun harus ditolerir. Itu dia masalahku. Orang-orang yang mungkin merayakan mesjid kubah emas lantas ingin merubuhkan patung Kongco, ya kurasa wajar saja. Jangan-jangan pemrakarsa patung Kongco pun terinspirasi mesjid kubah emas.

Ini apa lagi ngomyang tentang Kongco kubah emas. [ngomong-ngomong Kongco artinya apa, sih?] Sudah, mari fokus pada masalah terumbu ini saja. Mungkin ini bukan masalah terumbu benar. Jangan-jangan ini hasrat yang terpendam. Tidakkah yang seperti ini sudah terlalu sering terjadi? Tidakkah hidup sekadar susah berganti senang, sedih berganti gembira, begitu saja seterusnya? Sudah cukup 'lah itu. Tidak perlu lagi ditambah-tambah dengan yang lainnya. Jika mau pun ditambah, tambahlah dengan yang menyenangkan, menggembirakan, menyamankan. Kenyamanan seperti sore hari di tengah padang rumput, angin semilir menyegarkan sementara matahari membelaikan kelembutan sinarnya sebelum tenggelam. Seperti itulah.

Jika pun mau ditambah lagi, keindahan. Jatuh cinta, dimabuk cinta. Aduh, ini mungkin memang indah, namun tidak menyenangkan. Jatuh, mabuk, sakit semua tauk. Kurasa rata-rata manusia memang masokis ketika mereka sengaja mencari sensasi dimabuk cinta sampai jatuh, terkapar atau bertekuk lutut sedangkan senyum mengembang selebar mulut selebar pipi. Bahkan kurasa kakek-nenek tua-renta pun suka pada sensasinya. Bahkan ketika yang begitu orang-orang muda, pasti tetap mengembang senyum mereka, meski ompong, meski peyot kempot pipi-pipinya. Di dunia yang penuh dengan orang-orang luar biasa, aku bersyukur mereka saling jatuh cinta.

No comments: