Sunday, August 06, 2017

Bergandengan Mendaki Bersama. Memetik Bintang


Kemarin sempat terpikir untuk mengulas Buku Kafe. Bukan yang setelah pindah ke sebuah ruko, ya, melainkan yang masih di tempat yang sekarang jadi Surabi Bandung. Namun segera kusadari yang seperti itu sebenarnya adalah cara ar-Rahman membahagiakanku, menjawab doaku akan rasa nyaman. Segala puji memang hanya pantas untukMu, Illahi Rabbi. Mungkin perlu juga dicatat di sini, Alhamdulillah, malam tadi aku mendapat tidak satu, tidak dua, tetapi TIGA berita baik! Meski harus segera disusulkan di sini, berita baik seperti itu mungkin memang selalu datang pada jam setengah sembilan malam ketika badanku sudah siap tidur. Apapun itu, tetap saja tiga berita baik berturut-turut adalah rahmat karuniaNya.

Lantas, nikmatNya yang mana lagi yang akan kudustakan sedang aku merasa nyaman begini di Minggu pagi yang cerah, sedang aku menikmati secangkir 175 ml minuman kental berbadan penuh, sedang aku seakan duduk di nyamannya kursi beribu-ribu kaki di atas awan. Meski mungkin harus kususulkan di sini, aku harus berhati-hati menggunakan efek amplify di Audacity karena bisa merusak kesinkronan kanan-kiri stereonya. Tidak terlalu mengganggu, sih. Justru terdengar seperti gaung. Sudah dua minggu berlalu, rundungan ini kian pudar dan pudar, menyisakan hanya melodi cantik yang memang cantik. Aku memang tidak tahu bedanya manis dan cantik, meski manis memang bukan definisi yang tepat untuk Cantik.

Apa yang harus kulakukan? Bertahun-tahun ia merundungku, tahun-tahun yang oh mengapa harus kualami. Entah mengapa pagi ini aku terdorong membaca kata pengantar skripsi Aldamayo Panjaitan. 'Do, kau membuatku sedih pagi-pagi yang seharusnya ceria begini. Mungkin kau pun mengalami kesedihanmu sendiri, seperti seekor kamblap dan serangga di belakangku ini. Aku pun begitu. Apa yang kau tuliskan mengenai Marry tidak mengejutkanku. Memang begitulah seharusnya seorang impostor John Lennon. Aku baru sadar kita tidak begitu akrab bahkan ketika sering bersama dahulu. Semoga kau tidak mengalami apa yang aku dan orangtuamu alami. Jika itu menyakitimu, percayalah, kami pun sakit. Mungkin lebih.

Uah, aku tidak pernah membayangkan diriku seperti ini. [benarkah?] Ya, aku memang terpesona oleh Paman Karol, namun aku tidak ingat sejak kapan tepatnya. Apa benar aku ingin menjadi sepertinya? Tidakkah aku juga terpesona oleh Sengkuni yang dipanggil 'Man oleh ponakan-ponakannya? Tiap mengingat ini, aku jadi ingat tahun-tahun sebelum menjadi dosen. Aku sudah bergentayangan di FHUI seperti selalu kulakukan dalam sebagian besar hidup dewasaku. Namun tidak ada yang mengenaliku. Tidak Mega Hapsari Ramadhani. Tidak Eka Septiana. Tidak Fika Fawzia. Tidak ada yang tahu siapa aku. Aku tidak ubahnya Pak Mawi, Pak Salim, bahkan Pak Ronny, atau setidaknya begitulah yang ingin kupercaya.

Dan minuman kental berkrimer setelah ketupat sayur bersantan mungkin bukan ide yang terlalu baik! Apakah mengetiki ide yang lebih baik? Tidak. Tidak pernah. Kapan aku mulai AFIL? Apalagi asas-asas hukum perikanan Indonesia, apalagi koperasi. Ya, kurasa aku memang sedang jadi limbuk anak cangik. Berita baik akankah bertubi-tubi? Wallahua'lam. Belum lagi Takwa. Apa yang harus kulakukan? Aku bisa apa? Ini semua hanya bisa diadukan padaNya, bukan diketiki begini. Selain diadukan, tentu dikerjakan. Dibicarakan terlebih dulu atau tidak? Ya, Allah, sungguh hamba lemah tidak berdaya, sedang tiada daya tiada pula upaya kecuali denganMu Yang Maha Tinggi lagi Mulia. Bebaskanlah hamba dari kefakiran dan utang.

Illahi Rabbi, begitu banyak yang berkecamuk dalam hati dan pikiran, yang memang tidak pernah bisa reda dengan comak-camuk. Waktu masih lebih muda, ini setidaknya bisa membuat lupa. Sekarang, dua-duanya jangan. Yang pertama mau bagaimana lagi, yang kedua harus dihindari. Itulah maka kuambil lagi secangkir air panas. Entah apa khasiatnya, tapi semoga berkhasiat, sedang peluang-peluang diteriakkan oleh Pakde Russel dari masa kecilku. Dari impian yang hancur berkeping-keping, tidak seperti itu ternyata kejadiannya. Tidak pernah tepat seperti itu. Namun aku nyaman dengan Cantik, setidaknya karena dia gibisy. [apa begitu ejaannya?] Adakah cintanya membantuku membuka sebuah pintu? Setidaknya ia satu-satunya temanku kini.

Berbinar-binar di matanya, uah, memang tidak pernah gagal melodi ini. Soft rock bukan slow rock. Ya, aku sudah menduga dari dulu slow rock itu semacam kampungan. Semacam Inggris gagal. Pagi ini, rasanya aku mendapatkan tambahan semangat. Pagi ini, rasanya aku jauh lebih muda, lebih sanggup berharap-harap. Apakah aku masih sanggup menghadapi kegagalan? Beberapa orang mungkin mengganggap kegagalan yang pernah kualami cukup menakutkan, dan bahwa keadaanku sekarang adalah kebangkitan darinya. Sejujurnya, aku sendiri takut. Aku hanya bisa merasa senang. Kuat? Tabah? Apa masih sanggup? Endurance, kata dr. Sukamto, dan ini bisa dan harus dilatih. Chotto matte kudasai! [lho?] eh... Banzai!

No comments: