Tuesday, July 18, 2017

Komidi Monyet Ahmad. Berbeha, Berleha-leha


Aku justru memilih untuk memulai pagi di kubik ini dengan berleha-leha, [atau berlengah-lengah?] yakni dengan mengetik-ngetik. Tidak juga. Aku memulai pagi ini dengan sebungkus nasi kuning lengkap dengan kering tempe dan mie gorengnya sekali. Masih ditambah pula dengan tahu dua macam, semur dan balado, bahkan telur dadar. Minumnya entah mengapa selalu teh Sari Wangi, padahal madu kurmanya sudah habis. Tidak juga. Aku memulai pagi ini tentu dengan shalat shubuh, kemudian olahraga jalan pensiunan keliling kompleks.


Namun tetap saja aku berprokrastinasi. [semoga tidak pernah ada kata serapan semacam ini] Apa benar yang akan kuketik pagi ini? Alasan pemanasan sudah sangat tidak relevan, jadi jangan dipakai lagi. Apakah aku takut menghadapi kenyataan. Rasa takut memang ada. Apakah aku kesepian? Bisa jadi. Nyatanya sebelum ada Cantik, Teman Hidupku, aku hanya berteman denganmu; kini bahkan setelah Ki Macan pergi. Ah, seperti halnya aku yang tidak pedulian, Ki Macan pun tidak pernah benar-benar menjadi temanku.

Jadi pagi ini tentang apa? Tentang berusaha menulis secara runtut? Hahaha sedang aku diprotes mahasiswa karena caraku mengajar membingungkan, katanya. Protesnya ke Donbangi Dontiba 'aja, Dik. Aku yakin kalau tolokku yang dipakai kau tidak akan protes. Belum terjawab problema ini, tiba-tiba Bang Andri menawarkan bakwan malang. Ya tidak kutolak. Ongkosnya adalah berdebat mengenai apakah rezim sekarang anti Islam atau tidak. Anti HTI ya, Islam tidak. Begitu posisi Bang Andri. Yo ora opo-opo aku se

Saking ga jelasnya, aku sekarang mendengarkan Gitar Gutawar. Bu Sri Suparti mengingatkan kalau 1 Agustus rekomendasi kebijakannya sudah harus selesai, sedang perutku berontak gara-gara berdebat tadi. Ada-ada saja. Tuh kan, baru sebentar saja sudah tidak runtut, sedang sekarang sudah tidak pagi lagi. Oh ya lupa, jus pepaya. Insya Allah buah-buahan harus makan yang banyak. Insya Allah sehat. Insya Allah hari ini selesai semua urusanku, semua yang harus diurus. Urusan memang jadi banyak, mau bagaimana lagi.

Apakah karena Dik Gita menyanyi diiringi papanya, maka entri ini harus kuberi judul Komidi Monyet Ahmad? Hahaha pasti banyak di antara kalian yang tidak tahu kalau Erwin Gutawa pernah memerankan tokoh Buang dalam film Permata Bunda. Apakah film Indonesia dalam reinkarnasinya yang sekarang lebih baik dari yang dulu-dulu? Entahlah. Dulu pun kalau tidak sengaja tidak akan aku menonton film. Aku memang terlahir tidak suka menonton film. Mungkin mirip dengan Pak Teddy yang lebih suka membaca.

Namun, seperti kata Takwa, Pak Teddy membaca bacaan-bacaan yang salah hahaha. Aku pun barusan merasa salah mendengarkan Gitar Gutawar, maka segera kuganti dengan Tante Karen. Bagaimanapun, ini bukan pagi yang aneh apalagi ganjil. Ini pagi yang kasihan atau menyedihkan. Ibuku cantik. Istriku cantik. Namun tidak semua perempuan seberuntung mereka. Beruntung? Entahlah. Adakah aku mendukung sesuatu sampai membabi-buta. Semoga tidak. Aku mendukung Pancasila dan UUD 1945? Aku mendukung Takwa dan Imani Primanya hahaha. Sungguh. Ini menyedihkan.

Segera setelah paragraf terakhir ini, aku lebih baik bekerja karena ini memang mengenai Imani Prima, sebuah perseroan terbatas. Tempatku bekerja? Begitulah. Aku yang jelas bukan binatang dan tidak lagi kanak-kanak, yang karenanya aku punya pilihan dan suara, meski tentu tidak seindah suara Tante Karen. [jangan-jangan suaraku separau suara keledai atau politikus] Biarlah kututup entri ini dengan seuntai kalimat panjang yang berlari-lari riang seperti seorang gadis cilik yang sangat menyayangi bapaknya, sesuatu yang bagiku hanya khayalan.

No comments: